Surabaya (pilar.id) – Lonjakan kasus asusila yang melibatkan kalangan profesional seperti dokter, dosen, guru, hingga aparat kepolisian menimbulkan keprihatinan mendalam di masyarakat. Fenomena ini bukan hanya mencoreng nama baik institusi, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap profesi yang seharusnya menjadi teladan moral.
Menurut Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria MA, Ph.D., dosen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), maraknya kasus asusila mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan pembinaan karakter sejak usia dini.
“Kasus-kasus ini tidak hanya persoalan dorongan biologis yang tak terkendali, tetapi juga akibat minimnya pelatihan moral dalam sistem pendidikan formal kita. Sekolah dan universitas lebih fokus membentuk profesional, bukan pribadi yang matang secara moral,” ujarnya dalam pernyataan FISIP Statement.
UNAIR pun mengambil langkah konkret dengan melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan seksual kepada mahasiswa baru, organisasi kemahasiswaan, dosen, dan tenaga kependidikan secara rutin. Selain itu, pelaku pelanggaran akan dikenai sanksi dan wajib mengikuti konseling bersama psikolog.
Namun, Prof. Myrta mengakui bahwa langkah tersebut belum cukup. “Kami menerima peserta didik yang sudah terbentuk dari kecil. Merombak pola pikir mereka di usia dewasa tidak mudah,” katanya.
Sebagai solusi jangka panjang, UNAIR berinisiatif melakukan pengabdian masyarakat (pengmas) dengan menyasar pendidikan dasar dan menengah. Tujuannya adalah memperkuat pemahaman anak-anak mengenai kesetaraan gender dan hubungan antarindividu yang sehat, agar mampu mencegah kekerasan seksual sejak dini.
“Kami harap, angka kekerasan terhadap kelompok yang dianggap lebih lemah akan semakin berkurang. Kami juga mengadakan diskusi rutin bersama mahasiswa tentang isu kekerasan agar kesadaran semakin meningkat,” tambahnya.
UNAIR juga menyediakan saluran pelaporan aman bagi korban atau saksi kekerasan seksual melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Laporan dapat disampaikan secara anonim, dengan jaminan kerahasiaan penuh dan akses pada pendampingan profesional.
Pelapor diberi ruang untuk berbicara dengan nyaman, dan mendapat akses ke layanan psikolog klinis, psikiater, bantuan hukum, hingga dukungan teman sebaya. Lokasi konseling pun disiapkan secara fleksibel agar tidak menarik perhatian, bahkan dengan kemungkinan menggunakan ruang alternatif di gedung yang sama.
Fasilitas tambahan seperti psikolog yang tersedia di RS Universitas Airlangga (RSUA) juga ditujukan untuk menjaga privasi korban. (ret/hdl)