Jakarta (pilar.id) – Chief Economist Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, peningkatan suku bunga acuan diperlukan untuk menjaga interest rate differential atau selisih suku bunga Bank Indonesia (BI) terhadap negara lain agar tetap kompetitif.
Sebab, hampir semua negara telah menaikkan tingkat suku bunga kecuali beberapa negara yang menghadapi tantangan perlambatan ekonomi seperti China, Turki, dan Rusia.
Dalam jangka pendek, lanjut Budi, Bahana TCW menilai kondisi ekonomi nasional masih cukup kuat menghadapi kenaikan suku bunga hingga 50 bps sampai dengan akhir tahun 2022. “Bahana TCW optimistis pertumbuhan ekonomi masih akan positif bahkan dapat menyentuh di atas 5,3 persen,” ujar Budi, di Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Dia memprediksi, BI akan kembali menaikkan tingkat suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,0 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 22 September 2022 mendatang. Prediksi tersebut didasarkan pada dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) terhadap inflasi dan akselerasi penyaluran kredit.
Menurut Budi, secara timing kenaikan suku bunga pada RDG BI yang akan datang juga dinilai cukup baik. Karena di hari yang sama, The Fed juga diekspektasikan akan menaikkan tingkat suku bunga sebesar 75 hingga 100 bps.
“Langkah BI itu perlu diapresiasi. Selain agar tidak terlambat (behind the curve), normalisasi tingkat suku bunga juga ditujukan untuk menjaga attractiveness aset-aset domestik di mata asing serta menghindari out flow di pasar,” kata dia.
Budi menjelaskan, kasus inflasi di Indonesia terbilang berbeda. Indonesia relatif diuntungkan oleh fenemona inflasi global, mengingat kenaikan harga income commodity seperti batu-bara, nikel, dan CPO yang melebihi cost-commodity khususnya minyak mentah.
Pada awalnya, pemerintah mengendalikan transmisi inflasi global khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dengan terus meningkatkan alokasi subsidi energi hingga melebihi Rp500 triliun. Pemerintah punya alasan untuk mengalokasikan subsidi pada pos yang lebih produktif dan berkeadilan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Di sisi lain, Bahana TCW juga mengapresiasi langkah BI dalam mengendalikan risiko inflasi sekaligus mengendalikan rupiah melalui berbagai macro-prudential policy seperti dengan menyerap kelebihan likuiditas yang digelontorkan sewaktu pandemi. BI juga melakukan intervensi di pasar obligasi negara agar kurva imbal hasil untuk memberi acuan bagi perbankan dalam penetapan suku bunga kredit.
“Jadi, peningkatan suku bunga BI bukan untuk mengerem pertumbuhan ekonomi, melainkan untuk mengendalikan inflasi inti tahun depan tetap pada target interval dan menjaga daya tarik pasar keuangan domestik,” jelas Budi.
Adapun laju tahunan penyaluran kredit per Juli 2022, mencapai 10,5 persen atau hampir mendekati pertumbuhan sebelum pandemi yang berada di kisaran 12-13 persen. Menurut Budi, pemulihan ekonomi biasanya dicirikan oleh akselerasi penyaluran kredit perbankan yang sudah kembali pada level double digit.
Budi melihat, laju penyaluran kredit saat ini nampak turut memicu inflasi inti yang pada Agustus 2022 lalu menyentuh 3,04 persen atau memenuhi target BI sebesar 3,0±1 persen. Untuk memberikan arahan agar inflasi inti tahun depan terkendali, BI punya alasan untuk mulai melakukan normalisasi suku bunga namun tetap mendukung pemulihan ekonomi.
Namun, dia mengingatkan pelajaran pahit tahun 2013 ketika ekonomi Indonesia terlalu panas (overheated) yang dipacu laju penyaluran kredit yang terlalu pesat, melebihi 20 persen. Selain memicu inflasi, overheated memperlebar defisit neraca berjalan yang sangat besar sehingga memicu currency risk rupiah.
“Selama tahun tersebut, kurs rupiah sempat anjlok 23 persen yang memukul pasar modal setelah the Fed mengumumkan akan melakukan pembatasan stimulus (tapering-off),” sambung Budi. (ach/fat)