Surabaya (pilar.id) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Surabaya, Jawa Timur. Muktamar ini diadakan untuk menyambut peringatan ‘Satu Abad NU’, Selasa (7/2/2023) mendatang.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan fikih peradaban yang digagas NU dinilai memberi kontribusi positif bagi kemanusiaan. Selain itu juga mendudukkan hukum Islam untuk kemanusiaan.
“Inisiasi yang dilakukan PBNU ini memberi nilai positif untuk menempatkan fikih sesuai tujuannya yakni untuk kemaslahatan kemanusiaan,” ujar Tholabi dalam agenda ‘Bincang Media dengan Pakar Hukum Islam’ di Surabaya, Minggu (5/2/2023).
Disampaikan pula, perubahan yang terjadi di tengah masyarakat dinamis seperti sekarang perlu diikuti cara baca baru dalam melihat teks-teks sumber hukum Islam.
“Dibutuhkan cara baca untuk mendekatkan disparitas antara teks-teks suci dengan realitas peradaban yang cukup dinamis ini,” terang Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia ini.
Lalu apa yang harus dilakukan? Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, pertama, kita harus menggali teks klasik peninggalan para pemikir Islam terdahulu.
Untuk kemudian didialogkan dengan realitas terkini, lalu dicari titik temu di antara keduanya, termasuk memahami apa perbedaannya, dan menimbang konsekuensi apabila pandangan fukaha (kata majemuk bagi faqih, ahli fiqih, red) tempo dulu jika diimplementasikan dengan realitas sekarang.
“Langkah kedua diperlukan upaya mendialogkan antara realitas peradaban saat ini dengan teks-teks syariat secara manhaji (metodologis), terutama dalam hal-hal yang tidak terdapat bandingan atau persamaannya di dalam aqwāl (pandangan) fukaha,” kata pengurus PBNU ini.
“Dengan memikirkan segala kemaslahatan dan beban risiko kehancuran bagi umat manusia, sebagai inisiatif yang dapat menghadirkan stabilitas dan keamanan umat manusia. Ini butuh upaya kolaboratif pelbagai disiplin ilmu untuk membaca realitas ini dengan komprehensif,” imbuh Tholabi.
Gagasan fikih peradaban, katanya, perlu mendapat respon positif dari kalangan sarjana Islam. Khususnya di lingkungan perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia, yang nantinya perlu kolaborasi dengan ulama di pesantren untuk menumbuhkan pemikiran konstruktif demi kemaslahatan umat.
“Kolaborasi kalangan pesantren dan perguruan tinggi harus lebih ditingkatkan. Momen fikih peradaban ini menjadi milestone penting untuk menghadirkan kolaborasi positif antara ulama dan kalangan sarjana Islam,” tegas Tholabi.
Terkait gelaran Muktamar Internasional Fikih Peradaban I, ia berharap, semua berjalan lancar dan menghasilkan pikiran-pikiran besar bagi kemajuan fikih peradaban.
Selain Tholabi, acara bincang media dengan pakar ini juga dihadiri guru besar UIN KH Achmad Siddiq (KHAS) Jember, M. Noor Harisuddin, serta guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya Aswadi. (hdl)