Membuka catatan lama, lalu bertemu Prof. Dr. Habil Jozef Glinka SVD. Transkrip wawancara, 19 tahun silam. Wawancara sederhana, kaya pesan, dan sangat artistik.
Betapa tidak. Untuk wawancara, ia mengajak ngobrol di ruang kerjanya yang, waktu itu, lebih mirip bursa buku bekas.Tumpukan buku tebal, sebagian besar tak pernah ada dalam daftar peprustakaan pribadi di rumah, perabot kayu, dan cahaya lampu seadanya. Hanya beberapa sisi yang nampak benderang, yang kemudian digunakan Mamuk Ismuntoro, fotografer, kawan saya, untuk mengabadikan momen istimewa.
Prof Glinka, demikian ia akrab disapa, bercerita banyak hal tentang harapan dan ketakutan. Tentang bom yang meluluh lantakkan banyak logika, kematian, dan perdebatan tentang agama entah milik siapa.
Jelang Natal, saya berencana membuat catatan penting. Bukan dalam perspektif religi, tapi dari kacamatanya. Pengembaraan kata berujung di keprihatinan dan tanya. “Tahun 2002 seperti berakhir di titik anti klimaks. Sejak awal memang ada yang tidak beres di negeri ini,” kata dia.
Bukan semata Tragedi Bom Bali, tapi juga serial yang berjalan selama bertahun-tahun. Diawali badai moneter yang menghajar beberapa negara pada tahun 1997. Hingga perlombaan negara-negara terdampak yang bangkit dan bisa kembali normal.
Prof Glinka menyebut, Indonesia punya kesulitan untuk itu. Belajar dari beberapa negara tetangga yang punya aturan tegas untuk mengatur kehidupan masyarakat agar lebih tenang dan lebih baik. “Sedangkan di Indonesia, kondisi yang menjamin ketenangan tidak ada. Sekarang tenang, besok ada bom.” katanya waktu itu.
Prof Glinka tentu tidak sedang mengumbar syahwat berburuk sangka apalagi mengadili. Tapi rentetan tragedi itu kelewat gamblang untuk disimpulkan. Membandingkan peristiwa sekarang dan kemarin, lalu membuat simpul. Mengapa di beberapa kasus, pelaku perusakan gereja tidak ketemu? Sementara peristiwa Bali yang menggoncang akal sehat masyarakat Indonesia dan internasional, beberapa saat saja, aparat keamanan bisa menangkap pelakunya.
Tragedi seringnya tak bermuara pada hal-hal ideologis kecuali kekerasan itu sendiri. Ini tak berhubungan dengan agama, bukan pula gerakan anti Amerika atau kapitalisme.
Sayang, kita tak pernah sungguh-sungguh memiliki energi yang berangkat dari kesadaran. Untuk melihat persoalan secara benar bahkan mendasar. Kepentingan politik, ah, bosan benar menyebut ini, disebutnya sebagai kerangka dasar atas banyak hal.
“Ya, saya curiga ada rekayasa di sana. Saya dengar, banyak oknum yang suka potong di sana-sini. Masalah tertentu yang bisa diselesaikan keburu di sambar masalah lain. Akibatnya, aparat bingung,” kata Prof Glinka.
Ia kemudian mengajak bicara tentang kemungkinan. “Sekarang saya bertanya, apa maksud peledakan itu? Kalau gerakan anti Amerika, ternyata korban orang Amerika malah hanya dua orang. Kalau dasarnya agama, apa itu dibenarkan? Tak ada agama yang mengajarkan hal seperti itu. Kita semua tahu, justru setan-lah yang suka merusak, menebar kebencian, membunuh atau menghancurkan. Jadi susah mencari alasan yang sesungguhnya,” jelas dia.
Lalu saya pun ingat guyonan lama. Segala barang bagus, jika ada tangan kekuasaan di belakangnya, pasti jadi tidak menarik. Entah karena alasan profesionalisme, atau niat ingsunnya.
Logika berat. Dan Prof Glinka, lelaki kelahiran Chrozow, Polandia, 7 Juni 1932 itu beberapa kali berhenti bercerita. Mingkin sedang menata pembicaraan agar lebih mudah dimengerti, yang jelas bukan cari aman. Ya, dia bukan model orang yang suka cari aman.
Bicara perjalanan hidup, anak pertama dari tiga bersaudara ini kenyang melintas di jalan pedang. Sebelum menempuh pendidikan di sekolah seminari SVD Polandia pada 8 Mei 1946, ia sudah jadi saksi pergolakan sosial dan politik di Eropa Timur. Lalu perjalanan religinya pada 1951-1957, saat masuk novisiat dan mengucapkan kaul pertama pada tahun 1951. Pada bulan Februari 1957, ia mengucapkan kaul kekalnya dan ditahbiskan jadi imam pada 7 Juli 1957. Ia mulai dikenal sebagai Pater Josef Glinka.
Tahun 1964, ia mendapat gelar master dalam bidang Biologi dan mulai mengajar Ilmu Filsafat Alam di Seminari Tinggi SVD di Pieniez. Setahun kemudian, bersama 20 misionaris lainnya, Josef Glinka berangkat ke Jakarta pada 27 Agustus 1965, beberapa minggu sebelum tragedi kemanusiaan terburuk di Indonesia.
“Saya merokok sejak di Indonesia, tahun 1966-1967. Di sebuah tempat, saya dipaksa merokok. Ada pilihan rokok dan sirih pinang sebagai bentuk penghormatan dari pemilik rumah. Saya pilih rokok. Padahal asal tahu saja, semasa sekolah, saya satu-satunya siswa yang tidak merokok. Sedangkan di Polandia ada pameo, ‘Suka rokok silahkan merokok. Dan terima kasih, saya bukan wanita’,” kenangnya.
November 1968, Prof Glinka berangkat ke Polandia untuk menulis disertasi. Juli 1969, ia mendapat gelar Doktor. Setelah operasi pengeluaran batu empedu di Belanda tahun 1971, ia kembali ke Ritapiret, Maumere, Flores. Tak lama datang permintaan dari Universitas Katolik Atmajaya untuk jadi dosen. Pada saat bersamaan, ia juga diminta jadi dosen di Universitas Nusa Cendana di Kupang. Aktifitas ini di jalani tahun 1971-1973.
Sembilan tahun kemudian ia menyelesaikan studinya di Universitas Jagiellonian di Krakow, Polandia. Universitas tertua di Polandia ini mensahkan namanya sebagai guru besar. Universitas yang sama pernah digunakan Paus Johanes Paulus sebagai tempat belajar dan mengajar sebagai profesor. Saat ditawari jadi pengajar di Zurich, ia malah terbang ke Indonesia.
Lalu 1984, Prof Glinka pindah ke Universitas Airlangga. Selain mengajar di Jurusan Antropologi, ia juga membantu pengembangan ilmu kedokteran forensik.
Kemudian Natal tahun ini sudah tinggal menghitung hari. Ingatan pada Prof Glinka tiba-tiba muncul dengan banyak pesan. “Malaysia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Saya nyaris tidak pernah mendengar ada perang antar umat beragama di sana. Ada apa di sini? Seperti saya bilang di awal, ini puncak atau bagian dari serial yang berjalan bertahun-tahun. Indonesia tak bisa keluar dari lobang ini,” katanya saat itu.
Tanggal 30 Agustus 2018, guru besar itu tutup usia. Prof Glinka, atau Romo Glinka, atau Glinka, meninggal di RKZ Surabaya. Sejumlah kolega datang memberikan penghormatan terakhir, menyatu dalam doa untuk mengantar kepergiannya.
“Kita memiliki 300 suku bangsa, agama, kepercayaan, dan lain-lain. Agar tak ada konflik yang merugikan, kita harus tetap berdamai. Saling kerja sama dan saling menghormati,” tukasnya. Lirih, tertutup buku dan catatannya. (hdl)