Jakarta (pilar.id) – Komunitas Fossil Free Jogja menggelar aksi Global Climate Strike (GCS) 2022 dengan mural bersama di Jembatan Kewek, Darunejan, Kota Yogyakarta, Jumat (23/9/2022).
Selain melakukan aksi di jembatan tersebut, GCS juga menggelar empat aksi lainnya yakni, parade sepeda dan kendaraan non-BBM, pameran fotografi bencana iklim, dan berkunjung ke pameran di Jogja National Museum (JNM).
Rute aksi ini dilakukan sepanjang jalan utama Tugu Yogyakarta dan Titik Nol Kilometer, melewati Jembatan Kewek sebagai titik pemberhentian untuk menyuarakan protes melalui mural, dan berakhir di JNM dengan pameran tunggal seniman yang mengusung tema krisis iklim.
GCS adalah gerakan global yang dibuat sebagai respon dari Friday for Future yang dimulai sejak 2019, yang bertujuan untuk menuntut transisi energi yang berkeadilan tanpa penindasan.

Gerakan ini diselenggarakan setiap 20-27 September di berbagai negara di dunia. Selama pandemi, aksi ini masih terus dilakukan baik melalui online maupun offline dalam skala kecil.
Tahun ini di GCS Yogyakarta mengusung tema “Bencana Iklim” yang dimuat melalui pameran fotografi dalam bentuk atribut aksi. Koordinator Fossil Free Jogja, Arami mengatakan, total terdapat 15 foto bencana iklim yang dipilih dari lomba fotografi yang diikuti berbagai daerah di Indonesia. Foto-foto tersebut, hanya sebagian kecil dari berbagai foto bencana yang dikumpulkan oleh Fossil Free Jogja dari 5-20 September 2022.
“Saat ini teman-teman lagi menempel pameran fotografi temanya bencana iklim, kita memamerkan ada 15 bencana iklim dari 57 bencana iklim Fossil Free Jogja, dan tuntutannya adalah supaya tidak ada lagi terjadi bencana iklim, karena dari selama 2 minggu lomba fotografi yang dibuka ada 57 foto dan bencana iklimnya berbeda-beda. Dan bayangkan itu baru 2 minggu, gimana kalau setahun?,” kata Arami di sela-sela membuat mural di Jembatan Kewek, Jumat (23/9/2022).

Yogyakarta menjadi salah satu kota yang paling aktif menyuarakan isu krisis iklim. Meski gerakan GCS baru dimulai pada 2019, berbagai gerakan serupa telah diisiasi dengan nama lain yakni, Rise For Climate tahun 2018 yang dilakukan oleh Fossil Free Jogja, Fit Dhuwur Yogyakarta, Isi Punya Skater, Sasenitala, seniman, mahasiswa, dan berbagai komunitas lainnya.
Arami mengungkapkan, aksi ini sempat terhenti saat pandemi. Namun, pihaknya masih menggelar GCS dengan skala kecil mulai dari lomba poster, pameran seni, performing art, hingga aksi mengibarkan bendera tolak bala. Menurutnya, sebagai Kota seni dan budaya, aksi-aksi yang digelar di Yogyakarta secara alami membawa nilai kesenian dan kebudayaan.
Lebih lanjut, selain gelaran yang berbeda Arami menyebut jika semakin lama GCS ini semakin darurat. Arami menambahkan, jika dulu masih membicarakan terkait bencana iklim, saat ini bencana iklim sudah di depan mata.
“Besok kita nggak tahu kalau misalnya badai besok bakal menerjang rumah kita. Semoga, tahun depan tidak ada GCS karena transisi energi yang berkeadilan tanpa penindasan telah berjalan,” ucapnya. (riz/fat)