Surabaya (pilar.id) – Beberapa waktu lalu Bloomberg merilis surveinya. Disebutkan, Indonesia berada di peringkat ke-14 dari 15 negara yang terancam resesi.
Indonesia terancam resesi dengan probabilitas sebesar 3 persen, sementara di urutan pertama diduduki oleh Srilanka dengan probabilitas mencapai 85 persen.
Meskipun kemungkinan resesi Indonesia kecil, namun kondisi ekonomi sekarang ini tetap patut diwaspadai. Seperti dikatakan pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Imron Mawardi SP MSi.
Katanya, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan terkait kemungkinan resesi. Dua hal ini berkaitan dengan ketahanan pangan dan keputusan dalam peminjaman utang.
Larena tidak dapat dipungkiri, jika resesi benar terjadi maka dampaknya ialah masyarakat sulit untuk menjangkau kebutuhan pokok seperti pangan dan energi.
Sulitnya memperoleh barang-barang kebutuhan dipengaruhi ketersediaan yang minim dengan tren harga yang melambung tinggi. Menurut Dr Imron kondisi ini dapat diantisipasi dengan cara meningkatkan transportasi massal demi menghemat cadangan energi dan menambah buffer atau cadangan untuk pangan.
“Saya kira yang harus diwaspadai oleh pemerintah ke depan itu ialah pangan dan energi. Itu yang harus diperhatikan. Karena (di masa mendatang) ada peningkatan kebutuhan pangan dan energi yang besar sementara produksi energi dan pangan itu boleh dikatakan stag begitu ya. Artinya sulit untuk ditingkatkan yang signifikan,” jelas Wakil Dekan II Fakultas Teknologi dan Multidisiplin Unair itu.
Kebijakan pemerintah, lanjutnya Imron, dalam mengantisipasi kenaikan harga energi bisa dilakukan dengan cara meningkatkan produksi energi alternatif seperti tenaga surya atau meningkatkan transportasi massal untuk menurunkan penggunaan BBM pada kendaraan pribadi. Hal itu yang masih mungkin dilakukan, karena selama ini Indonesia masih menjadi net importir energi.
Kemudian, kenaikan tren harga dari pangan dunia perlu dicarikan solusi dengan cara menambah buffer atau memperkuat ketahanan pangan sebelum terjadinya krisis. Hal itu penting dilakukan mengingat Indonesia masih cukup tergantung dengan beberapa produk pangan dunia.
“Ada tren bahwa pangan dunia akan naik, sementara kita cukup tergantung dengan beberapa produk pangan dunia seperti kedelai, jagung, kemudian produksi pangan yang lain yang trennya itu juga akan meningkat kedepan. Sehingga ini juga harus diantisipasi dengan pemerintah dengan membentuk buffer yang kuat disana (pangan, Red) termasuk juga padi,” ujar jelas Imron lagi.
Pemerintah, lanjutnya, mesti mempertimbangkan betul keputusan sebelum berutang. Dosen fakultas Ekonomi dan Bisnis itu menyebut, kemampuan dalam membayarkan utang bukan ditentukan dari rasio uang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi ditentukan dari tax ratio.
“Pemerintah harus memperhitungkan bahwa kemampuan membayar utang pemerintah itu terletak pada tax ratio dimana tax ratio kita itukan hanya sekitar 9 persen dari PDB artinya per 1000 PDB itu hanya bisa menghasilkan 90 pajak,” tegasnya.
Eropa, lanjut dia, memiliki tax ratio di atas 30 persen. Artinya jika utang mereka setara dengan 60 persen dari PDB maka utang tersebut akan lunas dalam waktu dua tahun. Tetapi kalau utang Indonesia 40 persen dari PDB maka mencapai 4 tahun dari perolehan pajak untuk dapat melunaskan utang tersebut.
“Ini harus diperhitungkan, bagaimana pemerintah juga menurunkan atau mengurangi rasio utang kita ke depan yang tentunya dengan melakukan penggunaan anggaran yang efisien. Bahaya jika butuh utang seharusnya utang yang produktif yang betul-betul bisa memiliki dampak multiplier terhadap perekonomian,” tutup Imron. (hdl)