Pontianak (pilar.id) – Bagi kebanyakan orang, genangan air akibat curah hujan tinggi atau luapan sungai adalah mimpi buruk. Apalagi saat sudah terbiasa tinggal di daerah yang aman dari banjir.
Namun, bagi warga Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak, Kalimantan Barat, hidup berdampingan dengan air selama puluhan tahun adalah simponi hidup sehari-hari.
Kawasan Kampung Beting, dan beberapa kampung lain di bantaran Sungai Kapuas memang secara alami rutin menerima luapan air. Terutama di musim hujan yang puncak luapannya pada akhir tahun.
Zahara, 63 tahun, warga Kampung Beting menceritakan, dirinya yang lahir, tumbuh dan menikah di kampung ini merasakan betul perubahan kampungnya.
“Waktu remaja, saya masih melihat ‘Lanting’ di antara rumah-rumah warga”. Setelah menikah tahun 70an, saya tidak melihat lagi,” kisah Zahara.
Lanting adalah serupa rumah perahu orang-orang Melayu dan Bugis yang menetap di bantaran Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Pulau Kalimantan sekaligus menjadi sungai terpanjang di Indonesia.
Nama sungai ini diambil dari nama daerah Kapuas, sekarang Kapuas Hulu, sehingga nama sungai yang mengalir dari Kapuas Hulu hingga muaranya disebut sungai Kapuas.
Namun Kesultanan Banjar menyebutnya sebagai Batang Lawai yang mengacu pada nama daerah Lawie atau Lawai, sekarang Kabupaten Melawi, sehingga nama sungai yang mengalir dari Kabupaten Melawi hingga muaranya di sekitar Kota Pontianak itu disebut Sungai atau Batang Lawai.
Sungai Kapuas merupakan rumah dari lebih 700 jenis ikan dengan sekitar 12 jenis ikan langka dan 40 jenis ikan yang terancam punah.
Potensi perikanan air tawar di sungai Kapuas adalah mencapai 2 juta ton. Hutan yang masih terlindungi dengan baik menyebabkan sungai Kapuas terjaga kelestariannya hingga kini.
Namun, belakangan ini sungai Kapuas telah tercemar logam berat dan berbagai jenis bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emas dan perak di bagian tengah sungai ini.
Walaupun telah mengalami pencemaran oleh logam berat, Sungai Kapuas tetap menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat, terutama Suku Dayak dan Melayu di sepanjang aliran sungai.
Sebagai pendukung sarana transportasi yang murah, Sungai Kapuas menghubungkan daerah satu ke daerah lain di wilayah Kalimantan Barat, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke daerah pedalaman Putussibau di hulu sungai ini.
Selain itu, sungai Kapuas juga merupakan sumber mata pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi nelayan atau penangkap ikan secara tradisional.
Sungai Kapuas yang lain juga terdapat di provinsi Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kapuas. Sungai ini membentang sepanjang kurang lebih 610 km, dari Kecamatan Kapuas Hulu sampai Kecamatan Selat yang akhirnya bermuara di laut Jawa.
Pada 17 Agustus 2019 yang lalu, Merah Putih dikibarkan di atas ponton di tengah sungai ini. Pengibaran bendera diikuti oleh 90 komunitas, termasuk penambang, relawan, hingga ratusan masyarakat yang diikuti pula dengan aneka lomba tradisional.
Dina, Ketua RT 2/ RW 13, Kampung Beting menyebut jika dahulu, jalanan penghubung antar rumah dan kampung masih terbuat dari kayu yang disebut gertak.
“Sejak tahun 2006, gertak-gertak wilayah kampung Beting dan sekitarnya sudah mulai digantikan dengan beton,” terangnya.
Meski sudah terbiasa dengan genangan air sungai Kapuas, bukan berarti tak ada persoalan. Peningkatan kepadatan penduduk rupanya turut menyumbang efek lain yaitu sampah.
Kini, saat terjadi luapan air Sungai Kapuas, Kampung Beting tak hanya riuh dengan anak-anak yang bermain kecipak air, namun juga timbunan sampah plastik yang memadati sudut-sudut kampung. (muk/hdl)