Jakarta (pilar.id) – Akibat invasi perang yang dilakukan oleh Rusia dengan dalih Operasi Militer Khusus, banyak negara di dunia yang menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara bekas gabungan Uni Soviet tersebut.
Akibatnya, aset Pemerintah Rusia, perusahaan ataupun perorangan dari Rusia dibekukan. Pemerintah Inggris menjadi salah satu dari negara yang memberlakukan sanksi ekonomi pada Rusia.
Namun, negeri Ratu Elizabet ini, bersedia untuk mencabut semua sanksi yang telah mereka berikan. Syaratnya, menurut Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss, Rusia harus menarik diari dari Ukraina dan berkomitmen untuk tidak melakukan agresi lagi di kemudian hari.
Saksi ekonomi yang diberikan oleh Inggris dan negara-negara Barat lain, merupakan strategi untuk melumpuhkan ekonomi Rusia dan menekan Vladimir Putin agar mau menghentikan perang.
Mereka berusaha menekan Putin untuk menghentikan apa yang disebutnya operasi militer khusus untuk melucuti senjata dan membersihkan pengaruh Nazi di Ukraina. Dalam sebuah wawancara dengan Telegraph, Truss mengemukakan kemungkinan bahwa sanksi dihentikan berakhir jika Moskow mengubah arah kebijakan.
“Apa yang kami ketahui adalah bahwa Rusia menandatangani beberapa perjanjian yang tidak mereka patuhi. Jadi perlu ada dorongan keras. Tentu saja, sanksi adalah daya tekan yang keras,” katanya Minggu (27/3/2022).
“Sanksi itu seharusnya dicabut tak hanya dengan gencatan senjata dan penarikan penuh, tapi juga komitmen bahwa tidak akan ada agresi lebih lanjut. Dan juga, ada peluang untuk memberlakukan kembali sanksi secara otomatis jika ada agresi lebih lanjut di masa depan. Itu adalah daya tekan sesungguhnya yang menurut saya bisa digunakan.”
Pemerintah Inggris mengatakan pihaknya sejauh ini telah memberlakukan sanksi pada bank dengan total aset 500 miliar pound (Rp9,47 kuadriliun) dan oligarki serta anggota keluarga dengan kekayaan bersih lebih dari 150 miliar pound (Rp2,83 kuadriliun).
Truss juga mengisyaratkan bahwa krisis itu telah membawa Inggris dan Uni Eropa lebih dekat setelah hubungan keduanya menjadi sangat tegang akibat Brexit.
“Salah satu poin yang akan saya sampaikan tentang krisis ini adalah kami telah bekerja sangat, sangat erat dengan Uni Eropa,” katanya.
“Tentu saja, ada beberapa bidang di mana kami berbeda dengan EU tapi pada dasarnya, kami semua adalah negara demokratis, kami semua percaya pada kebebasan dan hak rakyat untuk memilih pemerintahan mereka sendiri dan kami sangat bersatu dalam perjuangan ini.” (fat/antara)