Surabaya (pilar.id) – Gulungan bahan sintetis warna-warni dari kulit imitasi memenuhi ruangan yang dijadikan rumah produksi tas, di sebuah gang di Jalan Gadukan Utara, Surabaya.
Ali Ma’ruf, salah satu perajin tas mengambil yang berwarna cokelat krem untuk digelar di lantai.
Tangannya lalu cekatan mengambil penggaris panjang dan silet, memotong bahan menjadi beberapa bagian kecil membentuk pola cetakan yang sudah disiapkan. Setelah terpotong beberapa banyak, Ali lalu mengaturnya menjadi beberapa tumpukan.
Bahan yang sudah berbentuk pola ini disiapkan, untuk diambil para penjahit yang akan mengerjakan tas di rumah mereka masing-masing. Ali bercerita, penjahit-penjahit tersebut datang dari kampung di luar Surabaya seperti Gresik dan Lamongan.
Ada puluhan rumah di kampung Gadukan, Morokrembangan yang memproduksi tas. Dulu, semua produksi tas dikerjakan di sini. Mulai memotong pola, menjahit bahan sampai proses memasang bagian-bagian hingga jadi sebuah tas.
Tapi sekarang hanya beberapa rumah saja yang membuat tas sampai jadi. Sisanya banyak pekerja yang memilih mengerjakan produksinya untuk dibawa pulang ke rumah, di kampungnya masing-masing. Alasan mereka untuk memilih mengerjakan produksi tas di rumah, karena bisa sambil mengurus keluarga dan leluasa mengerjakan pekerjaan lain.
Pilihan mengerjakan produksi tas di rumah masing-masing tersebut, diakui Ali yang menjadikan kesan kampung Gadukan sebagai sentra pembuatan tas sedikit kurang semarak. “Sekarang kampung tas jadi sepi,” ujarnya.
Meski demikian sebenarnya produksi tas dari kampung Gadukan Surabaya ini masih berjalan. Pesanan masih berdatangan untuk tas souvenir perusahaan. Atau perajin yang memproduksi tas untuk diambil pengulak dan dijual di pasar-pasar grosir di Surabaya dan sekitar.
Bahkan beberapa waktu lalu Pemkot Surabaya memesan tas sekolah higga ribuan buah untuk dibagikan kedapa siswa secara gratis. (ton/hdl)