Jakarta (pilar.id) – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) belum jelas peta jalannya. Karena itu, ia meminta penundaan pembahasan RUU Sisdiknas.
“Derasnya kritik publik karena minimnya keterlibatan publik, hingga dugaan liar adanya pasal-pasal yang menghapus substansi penting,” ujar Fikri, di Jakarta, Kamis (2/9/2022).
Menurut politisi PKS ini, awalnya revisi UU Sisdiknas diusulkan oleh DPR. Namun, tiba-tiba pemerintah menjadi pengusulnya. Ia menilai UU 20/2003 tentang Sisdiknas mesti ada beberapa penyesuaian karena perkembangan teknologi.
“Tapi kemudian menjadi inisiatif pemerintah, sehingga kami sifatnya menunggu draft,” kata Fikri.
Setelah draft diterima Badan Legislasi (Baleg) DPR, Komisi X mengusulkan beberapa rekomendasi kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Salah satu rekomendasinya berkaitan dengan peta jalan pendidikan yang menjadi dasar untuk melangkah ke pembahasan revisi UU Sisdiknas selanjutnya.
Bila peta jalan tidak ada, UU Sisdiknas yang dihasilkan nantinya tidak punya arah dan tujuan jelas. Apalagi, UU Sisdiknas yang baru ini rencananya akan menggabungkan tiga UU lainnya sehingga menjadi Omnibus (UU Paying) pendidikan, yakni UU 20/2003, UU 14/2005 tentang guru dan dosen, serta UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi.
Selain itu, pembuatan draft RUU Sisdiknas versi pemerintah dinilai minim partisipasi publik, dan belum banyak melibatkan pakar, serta ahli pendidikan dalam prosesnya. “Bahkan disinyalir seperti dibuat di ruang gelap yang tanpa keterlibatan pakar, cenderung tidak transparan dan terburu-buru,” kata Fikri.
Fikri menyayangkan banyaknya isu-isu liar karena hilangnya beberapa pasal yang memuat substansi penting dalam RUU Sisdiknas versi pemerintah. Misalnya soal hilangnya kata madrasah, dan hilangnya tunjangan profesi guru.
Hal itu menunjukkan, tidak hanya DPR, tetapi publik secara umum dan masyarakat pendidikan khususnya merasa tidak dilibatkan dalam proses penyusunan UU Omnibus ini, sehingga timbul rasa kecurigaan dan resistensi yang tinggi. “Saya kira pendidikan ini memang harus banyak terima kritik. Kita dapat perbaiki sesuai keinginan bersama, karena pendidikan ini amanat konstitusi, bukan visi partai, tetapi visi negara sesuai UUD,” tandasnya. (ach/hdl)