Dalam waktu kurang dari satu tahun, muncul banyak kehebohan di Jakarta. Mari sebut sebagian saja. Pertama, kisruh kontroversi iklan Holywings berujung pencabutan izin. Lalu, istilah SCBD yang bukan lagi punya kepanjangan Sudirman Central Business Distric tapi jadi Sudirman Citayam Bojong Depok. Yang terkini, soal putusan PTUN yang mengabulkan tuntutan para pengusaha sehingga memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menurunkan Upah Minimum Provinsi dari Rp4,5 juta.
Berjalannya kehebohan itu sekilas tampak biasa. Ada masalah, muncul reaksi, lalu terbitlah kisah akhirnya. Holywings bikin masalah lewat iklan kontroversi, banyak reaksi marah muncul, lalu keluarlah kebijakan pencabutan izin. Banyak yang jadi senang.
Terus soal SCBD. Dulu Jalan Sudirman terkesan eksklusif alias hanya punya mereka yang punya bisnis atau kerja di sana. Berdiam agak lama di tepi jalan itu saja langsung terasa aneh. Seperti masuk rimba raya, tapi pohonnya diganti sama gedung.
Eh, sekarang jadi beda banget. Tidak Cuma sekadar diam, banyak lho yang kongkow alias nongkrong di sepanjang jalan Sudirman. Kerennya, mereka tak cuma dari Jakarta tapi sampai Citayam, Bojong, Depok. Senyampang saya kerja di Ibu Kota, ketika disebut tiga daerah ini langsung bilang “jauh amat”.
Ya, Citayam, Bojong, dan Depok memang beda dari Jakarta. Tidak Cuma soal lokasi yang tidak masuk peta Jakarta, tapi juga karakter dari orang-orangnya. Biasanya, orang Jakarta diidentikkan dengan fashionable. Maksudnya, dandanan sama bajunya pas, cocok gitu lho. Beda banget sama bocah dari tiga kawasan itu. Jadi kalau mereka masuk Jakarta langsung terlihat bedanya.
Lha kok sekarang, mereka bebas jalan-jalan di Jakarta. Bikin sakit mata? Jelas tidak. Malah bikin Jakarta punya suasana baru yang jauh banget bedanya. Jadinya, mata tidak capek lantaran cuma bisa melihat live model yang itu-itu saja.
Belum lagi soal putusan PTUN yang bikin buruh ngamuk. Gimana enggak? Wong gaji mereka jadi turun gara-gara putusan itu. Sementara, tak bisa dipungkiri, biaya hidup makin besar dari hari ke hari.
Cukup lah bahas heboh-heboh itu. Sekarang waktunya sedikit tenang. Simak baik-baik kehebohan-kehebohan itu. Karena di baliknya, ada yang menarik. Apa itu?
Bisa dibilang, deretan fakta di Jakarta yang bikin heboh itu semacam pendulum yang sedang mengayun. Saat sebutir bola pendulum dilepas dari ketinggian tertentu, dia bakal meluncur dan berbenturan dengan bola lainnya. Dari situ, muncul energi yang mendorong bola lain bergerak. Kerennya, tak semua bergerak tapi cuma bola yang di ujung satunya saja.
Mungkin tak banyak yang menyadari di balik ayunan pendulum itu ada manfaatnya. Dan manfaat itu kini sedang diraup oleh salah satu sosok terkenal di Jakarta. Siapa lagi kalau bukan Anies Baswedan. Jadi semacam keuntungan buat dia.
Seluruh fakta menghebohkan itu sebenarnya menjadi amunisi bagi Anies untuk bertarung di Pilpres 2024. Karena, tak bisa kita pungkiri, dari setiap kehebohan itu, Anies mendulang pujian. Ini tentu makin bikin popularitas dia mendaki ke puncak.
Anies bakal dilihat sebagai sosok pejabat hebat. Keputusan pencabutan izin Holywings pasti bikin hujan pujian ke Anies. Meski sebenarnya keputusan itu tidak dibuat sendiri sama dia tapi lewat salah satu kepala dinas. Tapi tetap saja, kekaguman pasti tertuju ke Anies, bukan ke institusi Pemprov DKI Jakarta.
Terus lagi SCBD, di salah satu momen, Anies bilang kalau pembangunan Jalan Sudirman itu bertujuan membuat wajar Jakarta yang egaliter. Trotoar yang dibuat lebar kini tidak lagi sekadar untuk jalan kaki tapi juga tempat kongkow. Uniknya, bukan lagi orang Jakarta saja yang terlihat di sana tapi anak-anak muda Citayam, Bojong, Depok.
Ini menandakan, kata Anies, Jakarta semakin egaliter. Sudirman bukan lagi milik mereka yang bekerja di kawasan itu tapi milik semua kalangan. Bukan lagi milik orang-orang yang ke mana-mana musti pakai kendaraan pribadi, bahkan sekadar cari makan siang saja. Tapi sudah jadi milik semua, termasuk mereka yang bepergian pakai transportasi umum.
Jadilah kekaguman ke Anies makin mengalir. Lagi-lagi dapat pujian. Ini jadi tambahan amunisi buat maju Pilpres. Minimal, kampanye jadi agak ringan lah, terutama dari kocek. Duit yang keluar tak usah banyak buat kampanye karena sudah banyak yang kenal Anies.
Tinggal satu kehebohan yang belum bisa dibilang final. Soal putusan PTUN, karena yang ini, belum ada statemen apapun dari Anies. Mungkin lagi mempersiapkan.
Masyarakat buruh tentu mendesak Anies segera bertindak. Salah satunya dengan naik banding. Sebab, putusan itu merugikan mereka dan berpihak ke pengusaha.
Kita tunggu saja, kalau Anies diam, siap-siap kehilangan simpati. Kalau mau banding, dia bakal makin disayang. Buruh pasti kasih suara ke dia, meski asumsi ini masih butuh pembuktian sih.
Yah, itulah untung yang bakal didapat Anies. Tak perlu keluar banyak tenaga, cukup menggerakkan bibir, rasa suka datang berebutan. Berkah jabatan atau memang orangnya top? ***