Jakarta (pilar.id) – Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menetapkan unit usaha syariah (UUS) harus melakukan spin-off selambat-lambatnya 15 tahun setelah penerbitan undang-undang tersebut. Dengan kata lain, UUS harus terpisah dari induk Bank Umum Konvensional (BUK) sebelum tahun 2023 berakhir.
Menanggapi hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu draft RUU tentang Reformasi Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PS2K). Di dalam RUU tersebut spin off tidak memiliki batas waktu, sebab menjadi BUS (Bank Umum Syariah) tak lagi menjadi keharusan sepanjang aset UUS tidak mencapai 50 persen dari induk BUK-nya.
“Kita tuh sekarang sedang menunggu memang ada draft ya terkait dengan di P2SK mengenai masalah apakah spin off ini akan masih tetap berlangsung atau tidak berlangsung. Saya tidak berani mengambil sikap,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, di Jakarta, Rabu (7/9/2022).
Menurut Dian, kewajiban spin off perlu dipertimbangkan lagi kalau itu justru melemahkan UUS-nya sendiri. Spin off bisa dilakukan setelah UUS sudah cukup bagus. “Kan kita ingin memastikan bahwa perkembangan bank syariah itu akan berjalan dengan lebih baik ke depannya,” katanya.
Ke depan, Dian ingin melihat lebih banyak lagi bank syariah tumbuh subur dalam skala besar di Indonesia. Ia juga berharap, perbankan syariah bisa lebih kompetitif, terutama ketika berhadapan dengan bank konvensional.
“Kalau tidak dia tetap akan burem,” katanya.
Dian menambahkan, bank syariah merupakan pilihan alternatif yang didukung oleh sistem jual dan backing system. Hal ini dianggap sangat inklusif, karena siapa pun dapat memanfaatkan bank syariah, tidak hanya umat Islam.
“Saya ingin melihat bank-bank syariah ini tidak dalam skala kecil tapi dalam skala besar-besar juga. Mungkin harus nambah dua, tiga lagi bank se-skala itu (BSI) ya yang dilakukan oleh teman-teman swasta,” sambungnya. (ach/hdl)