Surabaya (pilar.id) – Musim hujan datang lebih awal. Setidaknya hal ini yang dirasakan Ra’isya, petani garam di Tambak Osowilangun Surabaya.
Dia berhitung, dari musim awal membuat garam sekitar Juni lalu, sampai saat ini tak lebih dari empat bulan saja. Padahal biasanya lima sampai enam bulan, kesehariannya dia habiskan untuk menyuling air laut, menjemur dan memanen butiran garam kasar.
Seperti hari itu, belum lagi tengah hari, dirinya sudah selesai mengemas puluhan karung penuh berisi garam. Jarum dari besi berukuran besar dengan tali plastik selesai disematkan di karung terakhir, tanda pekerjaannya pagi itu telah selesai.
”Masih jam sepuluh, garamnya sudah habis,” ujarnya. Dia bercerita, pekerjaan mengemas garam dalam karung-karung ini biasa diselesaikannya menjelang waktu duhur.
Sementara waktu sore digunakan untuk memanen butiran garam kasar dari hamparan tambak yang mengering.
Namun di tambak tempatnya berada, akhir-akhir ini sore hari mulai rutin turun hujan. Otomatis dia bersama Haryono anaknya, harus berkejaran dengan waktu agar garam yang dijemurnya tidak keduluan tersiram air dari langit. “Kalau sudah kena hujan, cair lagi, garam tak bisa dipanen,” terangnya.
Diapun lalu mengemasi peraralatannya untuk melanjutkan istirahat digubuk sederhana yang berada di tengah tambak, sambil menunggu pengepul datang mengangkut garam hasil panennya ke pabrik, untuk diproses lebih lanjut, sebelum bisa dikonsumsi masyarakat.
Kalau nanti intensitas hujan sudah makin tinggi dan tidak ada jeda bagi sinar matahari untuk mengeringkan air sulingan dari laut, berarti saatnya bagi Ra’isya untuk balik ke kampung halaman.
Menunggu musim garam datang lagi, di Bangkalan dia kembali menjadi petani dan menggarap sawahnya yang ditinggalkan sepanjang musim kering. (ton/hdl)