Jakarta (pilar.id) – Raja Ampat merupakan kawasan wisata yang dinilai sebagai salah satu yang terindah di dunia. Berkat kekayaan alam tersebut, Raja Ampat turut mendapatkan keuntungan finansial.
Bahkan, menurut Direktur Kebijakan Yayasan Konservasi Indonesia, Rahman Adi Pradana, Raja Ampat telah mendapatkan keuntungan mencapai 1.000 dolar Amerika Serikat berkat konservasi laut berbasis komunitas lokal berupa perlindungan dan juga ekoturisme ikan pari manta.
Pasalnya, pengelolaan bersama komunitas lokal dalam melindungai kawasan konservasi laut, memberikan dampak dengan semakin berkurangnya perburuan ikan pari manta.
Kondisi ini, juga berakibat positif pada pamulihan terumbu karang yang mendukung perkembangan ekoturisme di Raja Ampat.
“Kalau manta diburu hanya 500 dolar AS, tapi kalau manta dilindungi bisa membawa turis yang membawa keuntungan sampai 1.000 juta dolar AS,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum tentang konservasi dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Rabu.
Menurutnya, Raja Ampat kini didukung oleh Blue Abadi Fund berupa data hibah konservasi untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan atas sumber daya ikan. Kegiatan perlindungan dan ekoturisme ikan pari manta mampu meningkatkan ekonomi bagi masyarakat di daerah tersebut.
Pemerintah Papua Barat berkomitmen untuk melindungi 69 persen ekosistem darat atau lebih dari 6 juta hektare.
Yayasan Konservasi Indonesia mendukung perencanaan hutan provinsi, pilot perhutanan sosial di Konda (Sorong Tengah) dan Desa Ubdari (Fakfak).
“Kami mendukung pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah untuk mendukung 12 kawasan konservasi laut lebih dari 3,6 juta hektare. Ini adalah area konservasi terbesar berbasis kawasan untuk laut,” kata Rahman.
Lebih lanjut ia menyampaikan ada banyak wilayah yang penting dari alam dapat menyediakan pangan, air, dan layanan iklim. Sebagai contoh data-data menunjukkan 39 persen wilayah daratan dan 24 persen wilayah perairan di Indonesia menyediakan critical natural assets secara global, yaitu menyediakan jasa lingkungan penting bagi manusia dan masyarakat. Terdapat hanya 16 persen populasi dunia yang tinggal di wilayah ini.
Rahman mengungkapkan 75 persen dari irrecoverable carbon yang memiliki tinggi karbon itu ada di 14 persen wilayah bumi dan ini penting juga sebagai habitat bagi 87 persen spesies yang terancam.
“Nah, sayangnya masih banyak wilayah ini yang belum termasuk dalam beberapa kesepakatan internasional dan harapannya nanti di GBF Post 2020 kita bisa secara eksplisit memprioritaskan konservasi, pengelolaan berkelanjutan atau sustainable use dan juga restorasi di wilayah-wilayah yang penting bagi manusia,” ujarnya.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Firdaus Agung mengatakan laut akan menjadi tumpuan hidup manusia sebagai sumber energi bersih, penyediaan protein, pangan, dan juga menghasilkan kesehatan budaya serta mental melalui pariwisata.
Berdasarkan peta jalan konservasi laut Indonesia, pada tahun 2021 telah tercapai sebanyak 28,4 juta hektare. Pemerintah menargetkan angkanya bertambah menjadi 32,5 juta hektare atau setara 10 persen pada tahun 2030 mendatang.
Kemudian, jumlah laut yang dilindungi dalam bentuk kawasan konservasi diproyeksikan mencapai 30 persen atau setara 97,5 juta hektare saat Indonesia menginjak ulang tahun emas pada 2045.
“Pesisir dan pulau-pulau kecil harus ditata dengan baik. Pemanfaatan sektor harus harmoni, tidak saling meniadakan, salah satunya sampah di laut juga harus dibersihkan,” kata Firdaus. (fat)