Surabaya (pilar.id) – Ratusan pasang mata menatap ke tengah halaman Balai RW IV Wisma Penjaringan Sari Surabaya. Sebagian dari mereka terus mengarahkan kamera ponsel ke pemuda yang duduk bersila, dikelilingi lima pria setengah baya berbaju hitam. Matahari bersinar cerah, aroma dupa menyala. Asapnya meliuk mengiringi mantra dan doa.
Tiba-tiba mata si pemuda berubah garang, berkali-kali tubuhnya bergetar. Lidahnya sesekali menjulur cepat laksana ular. Napasnya berat, lalu silet tajam itu tiba-tiba dikunyah begitu saja.
Warga sontak berteriak, meski ada juga yang bergidik. Apalagi saat seseorang masuk lapangan membawa kantong berisi empat ular berbisa yang dilepas di dekat si pemuda. Penonton di sisi terdekat menjerit, para pawang beraksi. Dan sejurus kemudian, si pemuda menangkap satu ekor ular dan melumatnya. Darah mengalir, suasana magis makin mengiris.
Atraksi-atraksi ini disambut antusias warga Wisma Penjaringan Sari yang sudah menunggu sejak tengah hari. Menyambut HUT ke-79 Kemerdekaan RI, mereka menggelar berbagai acara. Mulai dari bazar, jalan santai, hingga gelaran Reog Ponorogo di Taman Sandya Loka, Wisma Penjaringan Surabaya.
Kelompok yang dihadirkan adalah Grup Reog Singo Joyo Katong dari Wage Taman, Sidoarjo, pimpinan Ki Sutrisno Warok. Seperti runtutan pentas rakyat lainnya, reog juga terbagi dalam beberapa babak. Mulai dari tari warok, jathilan, tari ganongan, tari kelono sewandono, hingga tari dardak merak.
Seolah kontradiktif dengan para pemain reog yang sangar, para penari jathilan tampil cantik lengkap dengan jarik parang parung, boro-boro, cinde, cakep, sabuk jathil dan yang lain. Makeupnya yang tegas melapis wajah sebagai penunggang kuda.
Semua adalah Reog Ponorogo
Meski sanggarnya berlokasi di Sidoarjo, Ki Sutrisno Warok, pimpinan Grup Reog Singo Joyo Katong mempertegas jika semua reog disebut reog Ponorogo. Karena berbeda dengan seni rakyat kebanyakan, reog memiliki akar sejarah dan tradisi tunggal, yakni Ponorogo.
Reog Ponorogo, seni pertunjukan tradisional yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur, merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan magis. Reog, juga dikenal sebagai Reyog, adalah tarian yang dipentaskan di arena terbuka dan berfungsi sebagai hiburan rakyat. Dengan unsur mistik yang kuat, Reog menjadi salah satu ikon budaya Indonesia yang tetap lestari hingga kini.
Dalam pertunjukan Reog, penari utama mengenakan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, dihiasi bulu merak yang membentuk kipas raksasa. Topeng ini memiliki berat mencapai 50-60 kg dan hanya dapat didukung oleh kekuatan gigitan penari. Reog Ponorogo terdiri dari dua jenis, yaitu Reog Obyog yang lebih bebas dalam pementasannya, dan Reog Festival yang telah dimodifikasi sesuai dengan pakem untuk acara-acara besar seperti Festival Reog yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Ponorogo sejak 1997.
Reog Ponorogo tidak hanya menampilkan keindahan seni tari, tetapi juga menyimpan cerita sejarah yang mendalam. Salah satu versi yang paling terkenal adalah kisah pemberontakan Ki Ageng Kutu terhadap Raja Bhre Kertabhumi, penguasa terakhir Majapahit pada abad ke-15. Melalui pertunjukan Reog, Ki Ageng Kutu menyampaikan kritiknya terhadap pemerintahan yang korup dengan sindiran yang halus namun sarat makna.
Pertunjukan Reog kini sering diadakan dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan, hingga perayaan hari besar nasional. Dengan semakin diakuinya Reog sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) oleh UNESCO, seni tradisional ini mendapatkan tempat yang lebih kuat dalam pelestarian budaya Indonesia. (hdl)