Surabaya (pilar.id) – Fenomena cek khodam online sedang ramai diperbincangkan masyarakat Indonesia. Cek khodam dilakukan dengan menanyakan nama penonton siaran langsung dan ‘menebak’ khodam yang bersemayam dalam diri mereka.
Menurut Dosen Antropologi Universitas Airlangga (Unair), Biandro Wisnuyana SAnt MA, fenomena ini hanya sebagai bentuk media hiburan. “Ini cuma digunakan sebagai have fun aja,” ungkap Biandro.
Cek khodam online menjadi viral karena masyarakat Indonesia sangat tertarik dengan hal mistis dan cocoklogi (percocokan logika). Masyarakat yang mayoritas Islam dituntut untuk percaya pada hal ghaib. Cocoklogi menarik minat karena logikanya masuk akal, meskipun tidak didukung oleh bukti empiris atau historis yang kuat.
Sejarah dan Makna
Biandro menjelaskan bahwa sejak zaman klasik, masyarakat Indonesia telah mempercayai hal-hal gaib, termasuk khodam. Dulu, khodam diyakini sebagai entitas tak terlihat yang memiliki hubungan timbal balik dengan manusia melalui perjanjian. Masyarakat percaya bahwa ada dua cara mendapatkan khodam: melalui ilmu magis dan keturunan.
Seni pewayangan Gatotkaca juga membuktikan kepercayaan terhadap khodam. Dalam cerita Gatotkaca, jiwa Brajadenta dan Brajamusti masuk ke tangan kanan dan kiri Gatotkaca. Biandro juga menyebut khodam bisa berupa manusia atau hewan, seperti Prabu Siliwangi yang dipercaya memiliki khodam berupa harimau putih.
“Ketika seseorang berhadapan atau berkomunikasi dengan pemilik khodam, mereka akan segan dan tunduk,” tambah Biandro.
Namun, makna khodam telah berubah. Dulu dianggap magis, kini menjadi hiburan melalui cek khodam online.
Dampak Positif dan Negatif
Perubahan makna khodam membuat rasa takut terhadap hal ghaib berkurang, menjadikannya sebagai media hiburan. Dampak negatifnya adalah anak-anak hingga remaja mungkin menjadi terlalu percaya diri dengan khodam yang mereka miliki. Jika khodam mereka dianggap ‘bagus’ atau ‘keren’, mereka mungkin merasa bisa melakukan apa saja seenaknya, mengganggu masyarakat yang benar-benar percaya pada khodam.
“Silakan ber-euforia dengan fenomena ini, tetapi jangan menjadikannya acuan dalam bertindak. Ini hanya hiburan dan keabsahan data empirik maupun historisnya masih perlu dipertanyakan,” pungkas Biandro. (ipl/hdl)