Jakarta (pilar.id) – Operasi milter yang dilancarkan oleh Rusia dan serangan balik oleh Ukraina berpotensi untuk bereskalasi menjadi PD III. Berbagai upaya telah dilakukan. Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat (AS) telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Namun demikian, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai, sanksi tersebut kepada Rusia tidak akan efektif karena tiga alasan. Pertama, sanksi ekonomi baru akan terasa di level masyarakat Rusia dan para elit dalam waktu 6 bulan bahkan satu tahun ke depan.
Kedua, Rusia harus dibedakan dengan Iran ataupun Korea Utara yang masih sangat bergantung pada banyak negara. Ketiga, Rusia akan dibantu oleh sekutu-sekutunya, bahkan oleh China yang melihat potensi keuntungan secara finansial.
“Penyelesaian melalui Dewan Keamanan PBB pun akan tidak membuahkan hasil mengingat di dalam DK PBB ada Rusia yang merupakan anggota tetap yang memiliki hak veto. Apapun, draf resolusi yang bertujuan untuk melumpuhkan Rusia secara militer akan diveto oleh Rusia,” kata Hikmahanto, Kamis (24/2/2022).
Satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum PBB. Dalam MU PBB semua tidak ada hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama. Disamping dalam MU PBB, semua negara anggota bisa berperan.
Dalam sejarahnya MU PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea, MU PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace.
Dalam resolusi tersebut dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata. Bila seruan ini tidak digubris maka MU PBB dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata.
“Tentu proses di MU PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB, termasuk Indonesia,” kata dia.
Hikmahanto bilang, Indonesia dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat mengutus Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.
“Retn juga perlu melakukan pembicaraan dengan Menlu berbagai negara di Asia Afrika Eropa Timur hingga Amerika Latin. Mengingat, bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal PD III,” pungkasnya. (her/din)