Surabaya (pilar.id) – Pada Juni lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi melaporkan adanya serangan siber terhadap Pusat Data Nasional (PDN) yang mengganggu layanan publik di PDNS 2 Surabaya.
Serangan yang terjadi pada 18 dan 19 Juni 2024 ini menggunakan metode ransomware, yang mengunci dan menghalangi akses data hingga peretas mendapatkan uang tebusan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Budi Arie mengungkapkan bahwa pelaku peretasan bukan berasal dari negara tertentu.
“Dalam serangan siber ini selalu analisanya dua: ini state actor (aktor berasal dari negara) dan non state actor (bukan berasal dari negara). Tetapi, di forum ini saya ingin tegaskan bahwa kesimpulan mereka (pelaku) ini non state actor dengan motif ekonomi. Itu sudah alhamdulillah dulu, karena kalau yang menyerang negara, berat,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), Rani Sukma Ayu Suteja, S.I.Kom., M.Sc, memberikan pandangannya. Menurut Rani, pernyataan syukur yang diucapkan oleh Menkominfo kurang etis.
“Dalam ilmu public relations, sejatinya krisis sekecil apapun harus ditanggapi dan ditangani dengan segera, serta dikomunikasikan kepada publik dengan transparan agar menghindari kesalahpahaman yang justru dapat menjatuhkan reputasi lembaga,” jelas Rani.
Rani juga menekankan pentingnya penyampaian maaf kepada publik secara terbuka dalam situasi krisis.
“Pemerintah sebenarnya cukup cepat dalam menangani hacker, tetapi akan lebih baik kalau pemerintah memiliki manajemen risiko untuk menangani masalah serupa ke depannya,” tambahnya. (hdl)