Ini kisah nyata di sebuah kampung, tentang seorang perempuan tua yang berharap memperoleh rukuh bekas pakai, perangkat salat khusus perempuan. Ia bertemu dengan Ny. H, dan berkata: rukuh miliknya sudah usang, dan terlalu kecil untuk dipakai salat tarawih. Adakah engkau memiliki rukuh yang masih layak kugunakan untuk berdiri di hadapan Tuhan.
Ny. H menimbang sejenak. Ia punya beberapa potong rukuh yang masih bagus. Ada rukuh mas kawin yang diberikan suaminya. Ada juga rukuh yang dibelinya dengan harga mahal tahun lalu. Namun, ia tak berani memutuskan, karena masih harus meminta izin kepada sang suami. Ny. H meminta perempuan tua itu kembali ke rumahnya besok.
Keesokan harinya, perempuan tua itu kembali dengan membawa satu sisir pisang kecil dan beberapa buah singkong. Ia bermaksud menukar rukuh dari Ny. H.
“Tidak usah, Mbah,” kata Ny. H. Ia ingin memberikan rukuh itu cuma-cuma.

Jurnalis, pegiat literasi Jember Jawa Timur
Namun, perempuan tua itu memaksa. Ny. H mengalah. “Baiklah, berapa harganya. Biar saya beli.”
Tidak. Perempuan itu tetap menolak uang Ny. H. Ia hanya menginginkan pertukaran. “Jangan. Kelak aku juga ingin bertemu di surga denganmu.” Perempuan tua itu ingin bisa berkata di hadapan Tuhan, bahwa ia tak hanya menerima, tapi juga memberi.
Tak hanya menerima. Pada akhirnya kemiskinan tak selalu berarti komunikasi satu arah: bahwa si miskin selalu menengadahkan tangan. Ny. H tercekat. Ia tak menyangka memperoleh jawaban itu.
Azan magrib terdengar. Saatnya berbuka. Ny. H membuka sajadah, menyediakan tempat bagi perempuan tua itu untuk bersembahyang. “Aku doakan engkau bisa segera nak haji bersama suamimu,” kata sang perempuan tua, sebelum pamit pulang.
Seorang yang sinis mungkin akan berkata: mendoakan dirimu sendiri saja tak mampu, mengapa kau doakan orang lain. Namun di situlah mungkin indahnya doa: kita menitipkan harapan, karena pada titik tertentu, hanya itu yang kita punya dalam hidup. Dengan harapan, kita berbagi dengan yang lain dan sadar bahwa hidup tak selamanya datar.
Ketika sang perempuan tua menawarkan pisang sebagai pertukaran kepada Ny. H, sejatinya ia tengah membangun harapan itu. Tak hanya untuk Ny. H tapi juga untuk dirinya sendiri. Setidaknya di hadapan Tuhan yang mencintai orang-orang yang saling peduli. **