Ini kisah nyata di sebuah kampung, tentang seorang perempuan tua yang berharap memperoleh rukuh bekas pakai, perangkat salat khusus perempuan. Ia bertemu dengan Ny. H, dan berkata: rukuh miliknya sudah usang, dan terlalu kecil untuk dipakai salat tarawih. Adakah engkau memiliki rukuh yang masih layak kugunakan untuk berdiri di hadapan Tuhan.
Ny. H menimbang sejenak. Ia punya beberapa potong rukuh yang masih bagus. Ada rukuh mas kawin yang diberikan suaminya. Ada juga rukuh yang dibelinya dengan harga mahal tahun lalu. Namun, ia tak berani memutuskan, karena masih harus meminta izin kepada sang suami. Ny. H meminta perempuan tua itu kembali ke rumahnya besok.
Keesokan harinya, perempuan tua itu kembali dengan membawa satu sisir pisang kecil dan beberapa buah singkong. Ia bermaksud menukar rukuh dari Ny. H.
“Tidak usah, Mbah,” kata Ny. H. Ia ingin memberikan rukuh itu cuma-cuma.

Jurnalis, pegiat literasi Jember Jawa Timur
Namun, perempuan tua itu memaksa. Ny. H mengalah. “Baiklah, berapa harganya. Biar saya beli.”
Tidak. Perempuan itu tetap menolak uang Ny. H. Ia hanya menginginkan pertukaran. “Jangan. Kelak aku juga ingin bertemu di surga denganmu.” Perempuan tua itu ingin bisa berkata di hadapan Tuhan, bahwa ia tak hanya menerima, tapi juga memberi.