Surabaya (pilar.id) – Langkah Elon Musk untuk mengakuisisi Twitter terus jadi pembicaraan seru. Terakhir, Twitter mengumumkan siap menghentikan layanan gratis Application Programming Interface atau API, Kamis (9/2/2023) lalu.
Tak berhenti di situ, Twitter juga menyampaikan jika mereka tidak akan mengizinkan pengembang mana pun menggunakan API-nya secara gratis. Kata Musk, Twitter dapat membebankan 100 Dollar AS sebulan dengan verifikasi ID.
Menanggapi hal ini, dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Airlangga Febby Risti Widjayanto mengatakan, penyetopan akses API gratis justru sebetulnya bertentangan dengan gagasa Elon Musk yang ingin menjadikan Twitter sebagai digital town hall atau alun-alun kota digital.
“Artinya, kini semua orang tidak bisa dengan mudah memanfaatkan layanan Twitter untuk menyampaikan aspirasi, opini, atau pendapat karena adanya batasan yang ditimbulkan dari ketentuan pembayaran layanan API Twitter,” terangnya.
Apa yang terjadi sekarang, lanjutnya, sebagai dampak sikap Elon Musk, sejatinya menimbulkan asumsi bahwa misi untuk mendukung demokrasi yang sempat digembar-gemborkan itu cuma superfisial.
Febby kemudian menjelaskan, menfess ataupun fanbase tidak semata-mata hadir karena adanya keinginan untuk berbagi informasi secara anonim. Tidak juga mengekspresikan minat terhadap sesuatu di dunia maya guna menambah jaringan atau jumlah audiens yang memiliki ketertarikan yang sama.
Dosen program studi Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR), Febby Risti Widjayanto
Tetapi, lebih dari itu, ekosistem digital yang diwarnai akun menfess dan fanbase berpeluang untuk menjadi sarana berdemokrasi. Dan ini bisa dimanfaatkan oleh jurnalis, organisasi sipil masyarakat, peneliti, bahkan kelompok-kelompok pejuang kepentingan umum.
“Seperti misalnya menggunakan Twitter untuk membagikan atau menginisiasi sebuah gerakan penting, contohnya membangun kesadaran terhadap kesehatan mental secara luas melalui akun-akun komunitas,” tandasnya.
Contoh lain, kata Febby, ketika Twitter dimanfaatkan untuk melaporkan kasus kekerasan serta ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan bagi kelompok-kelompok yang rentan.
“Ketika para jurnalis menurunkan sebuah laporan investigasi atas sebuah kasus yang sulit diungkap serta bagaimana para peneliti dan akademisi juga nantinya akan terdampak bila mereka melakukan penelitian dengan menggunakan fitur API,” paparnya.
Febby pun mengingatkan, dampak itu nantinya juga akan dirasakan oleh organisasi atau komunitas yang bergerak dalam bidang identifikasi kebencanaan. Dimana mereka saat ini juga menggunakan fitur API dan chatbot untuk mendeteksi kata kunci tertentu, dalam upaya pelaporan bencana alam secara aktual.
“Ini bisa kita lihat saat terjadi gempa, kita bisa menemui akun-akun pendeteksi laporan gempa di Twitter. Dengan kata lain, adanya pembatasan penggunaan API berarti membatasi dan atau bahkan dapat menghilangkan praktik-praktik komunikasi tersebut,” khawatir Febby.
Di sisi lain, pengguna Twitter nant juga sulit berharap banyak. Ketika monetisasi dan komersialisasi Twitter tidak selaras dengan demokrasi digital, gara-gara Twitter tunduk pada kebijakan pemiliknya.
“Namun, hal tersebut bukan berarti publik tidak memiliki peran sama sekali. Hal itu karena masyarakat di negara demokratis tetap bisa melakukan tuntutan yang kemudian diteruskan oleh lembaga legislatif sehingga dapat mempengaruhi kebijakan dari platform Twitter ini,” imbuhnya.
Di Amerika Serikat, kata Febby, akhir tahun lalu baru mengesahkan undang-undang yang mewajibkan platform media sosial menerapkan transparansi dan menyediakan akses data terhadap para peneliti yang memang sedang melakukan studi yang bermanfaat bagi publik. Seperti yang dilakukan Platform Accountability and Transparency Act dan Digital Services Oversight and Safety Act.
“Artinya, bila kebijakan Twitter itu dijalankan, tentu akan diawasi dan dievaluasi oleh Kongres sebagaimana kita juga pernah saksikan seperti bos Facebook yang juga pernah dipanggil oleh kongres dan dimintai keterangan mengenai kebocoran data yang terjadi di media sosial tersebut,” tutupnya. (hdl)