Pontianak (pilar.id) – Rangkong gading, burung eksotis dengan paruh khas berwarna gading, menjadi simbol maskot Provinsi Kalimantan Barat. Namun kebanggaan ini berbanding terbalik dengan kenyataan.
Karena nasib burung ini kini berada di ujung tanduk akibat perburuan ilegal, degradasi habitat, dan minimnya upaya konservasi.
Burung ini mendiami hutan tropis Asia Tenggara, termasuk Thailand selatan, Myanmar selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, hingga Kalimantan. Di seluruh dunia, terdapat 54 jenis burung rangkong. Mereka umumnya hidup di hutan hujan tropis, meskipun beberapa jenis juga bisa ditemukan di wilayah kering seperti Afrika.
Berkurangnya pohon beringin, sumber makanan utama rangkong gading, menjadi salah satu penyebab merosotnya populasi. Pohon ini kerap ditebang karena dianggap tidak memiliki nilai ekonomis.
Burung yang juga dikenal dengan nama lokal seperti Tajak, Tukup, hingga Tekung ini juga menjadi sasaran perburuan karena paruhnya yang eksotis.
Sejak abad ke-17, terutama pada masa Dinasti Ming di Tiongkok, cula atau balung (casque) burung rangkong gading telah dijadikan hiasan mewah.
Investigasi oleh Rangkong Indonesia bersama Yayasan Titian, yang didukung Dana Konservasi Chester Zoo, mencatat bahwa sekitar 6.000 rangkong gading dibantai hanya di Kalimantan Barat selama 2013.
Sementara itu, sepanjang 2015, lebih dari 2.343 paruh disita dari perdagangan ilegal—mayoritas permintaan datang dari Tiongkok.
Burung ini masuk dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Bahkan, melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008, rangkong gading ditetapkan sebagai spesies prioritas dalam konservasi nasional.
Selain aspek ekologis, rangkong gading juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Dalam tradisi masyarakat Dayak di Kalimantan, burung ini disimbolkan sebagai perwujudan Alam Atas atau alam kedewataan yang bersifat maskulin.
Rangkong gading dianggap sebagai penjaga, pemberi keberanian, sekaligus penghubung antara manusia dengan roh leluhur. Sementara di Provinsi Lampung, satwa ini melambangkan keagungan dan kepemimpinan masyarakat adat.
Ciri khas lain dari rangkong gading adalah sifat monogaminya. Sepasang rangkong hanya memiliki satu pasangan seumur hidup.
Proses bersarang pun unik—sang betina akan mengurung diri dalam lubang pohon yang ditutup adonan tanah liat dan kotoran. Sang jantan bertugas memberi makan lewat celah kecil hingga anak mereka menetas dan cukup besar untuk keluar dari sarang. Masa ini berlangsung antara 154 hingga 183 hari.
Konservasi rangkong gading harus menjadi prioritas, tidak hanya karena statusnya sebagai satwa endemik dan dilindungi, tetapi juga karena perannya dalam ekosistem dan warisan budaya. Menyelamatkan burung ini berarti menjaga keseimbangan alam serta merawat identitas budaya masyarakat lokal. (ret/hdl)