Surabaya (www.pilar.id) – Barang bekas atau barang second ternyata memiliki penggemar tersendiri di Surabaya. Hal tersebut terlihat dari beberapa kali acara thriftshop yang diadakan di mall dan kafe di Surabaya, bahkan hingga ke Gresik.
Dari banyaknya tenan, salah satu tenan yang sering atau tak pernah absen ikut dalam thriftshop keliling Surabaya hingga ke Gresik, adalah Bukan Distro Surabaya.
Pendirinya merupakan sepasang kekasih yang ingin membangun usaha bersama, yaitu Alfa Kumala dan Jonathan. Cerita Alfa, di awal, mereka mencoba usaha jual baju bekas pribadi. Tak terduga banyak yang tertarik dengan barang jualannya.
“Awalnya aku sama doi, ngumpulin jaket-jaket kita sendiri dan coba jual. Akhirnya laku cepat dan untung,” kenangnya
Hingga tahun 2020, saat dirinya baru lulus dari bangku kuliah, ia mencoba bikin riset dan melihat jika di Surabaya baju bekas masih dalam keadaan lusuh dan kotor. Atas pengamatan itu, Alfa ingin menjual baju bekas dengan kondisi seperti baru dan siap dipakai
“Jadi saya sortir, baju yang masih layak pakai, terus dicuci biar nodanya agak berkurang, diseterika dan diberi pewangi,” jabar perempuan 24 tahun ini.
Lanjut Alfa, ia akhirnya mencari agen baju bekas. Saat berada di Bandung, ia melihat jika hampir setiap toko menjual barang bekas, seperti sandal, baju, jaket, sepatu dan lainnya. Maka ia melanjutkan niatnya dengan memesan 30 jaket branded dengan modal Rp tiga juta. Masing-masing jaket ini dijual dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.
Tiga bulan berjalan, jaket dagangannya cuma terjual 10 biji dan tak balik modal. Atas pengalaman itulah, ia akhirnya mulai mengerti kemauan konsumen di Surabaya, yaitu produk branded dengan harga maksimal Rp 50 ribu.
“Dulu itu, langkahku emang kurang tepat. Belum terlalu mengerti permintaan pasar. Mereka gak terlalu mau tahu tentang branded, yang penting harganya gak mahal, karena barang ini bekas,” ceritanya.
Tak menyerah, Alfa pun melanjutkan usaha dengan meminjam uang tantenya dan memulai dari awal. Kembali membeli baju dan jaket yang tak terlalu branded, lalu dijual dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
“Setelah itu, gak sampai seminggu barangnya ludes. Balik modal dan akhirnya kulakan lebih banyak lagi. Dalam seminggu sisa dikit, balik modal dan aku tahu pasar ku sekarang dan bertahan sampai sekarang,” kenang Alfa.
Saat pandemi Covid-19 makin meningkat, usaha yang ia bangun mengalami penurunan. Namun, Alfa dan pasangannya tak mau menyerah. Mereka pun bergabung dengan beberapa pelaku bisnis serupa, lalu membuka sebuah toko. Walau barang dagangannya tak terlalu laku keras, seperti saat berjualan keliling di beberapa mall dan kafe. Tetapi mereka berdua tetap yakin, jika usahanya bisa berlanjut.
“Saat pandemi (usaha kami) turun drastis, soalnya gak boleh buat kerumunan. Tetapi sekarang sudah mulai buka lagi thriftshop keliling dan memang inginku usaha ini terus ada,” harap Alfa menutup pembicaraan. (jel)