Jakarta (pilar.id) – Belum lama ini pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama (Kemenag). Dalam PMA tersebut membuat 16 perilaku yang dikategorikan dalam kekerasan seksual.
Anggota Komisi VIII DPR RI Nurhuda Yusro Amenilai, secara substansi PMA tersebut sangat baik karena dapat menjadi acuan dalam pencegahan kekerasan seksual. Ia sangat prihatin dengan maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan.
“Maraknya kekerasan seksual di bawah satuan pendidikan keagamaan memang harus direspons cepat dengan regulasi. PMA ini dapat menjadi acuan bagi stakeholder untuk mencegah tindak kekerasan seksual,” kata Huda, di Jakarta, Kamis (21/10/2022).
Menurut Huda, lembaga pendidikan keagamaan semestinya dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarat. Namun, dalam beberapa kasus justru malah menjadi pelaku rusaknya akhlak.
“Ini jadinya tidak bisa dipegang antara pernyataan saat mengajar dengan kelakuannya, lalu bagaimana bisa menjadi panutan,” kata dia.
Huda meminta PMA ini segera disosialisasikan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam pencegahan tindak kekerasan seksual. Dengan PMA ini diharapkan, masyarakat dapat saling mengingatkan terhadap gejala-gejala yang mengarah pada perbuatan tidak senonoh tersebut.
“Dengan demikian bisa dicegah sejak dini sebelum kejadian,” katanya.
Berikut ini adalah 16 bentuk kekerasan seksual yang tercantum dalam Bab 2 Bentuk Kekerasan Seksual, Pasal 5. Pada ayat 1 tertulis, bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, termasuk melalui teknologi informasi dan komunikasi.
1. Penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik kondisi tubuh atau identitas gender korban.
2. Menyampaikan ucapan yang membuat rayuan, lelucon, siulan yang bernuansa seksual pada korban.
3. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
4. Menatap korban dengan nuansa seksual atau tidak nyaman.
5. Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi atau pada ruang yang bersifat pribadi.
6. Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.
7. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban.
8. Melakukan percobaan pemerkosaan.
9. Melakukan pemerkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
10. Mempraktikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.
11. Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
12. Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
13. Memberikan hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
14. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
15. Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio dan atau visual korban yang bernuansa seksual.
16. Melakukan perbuatan kekerasan seksual lain sesuai dengan ketentuan peraturan.
Terkait dengan sanksi, dalam Bab VI Pasal 19 ayat 1 dijelaskan, satuan pendidikan yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual akan diberikan sanksi administratif. Sanksi tersebut mulai dari teguran lisan, penghentian bantuan hingga pencabutan izin penyelenggaran satuan pendidikan. (ach/din)