Semarang (pilar.id) – Sebanyak 18 kasus leptospirosis terjadi di Kota Semarang pada awal tahun ini hingga Maret 2023.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang mencatat dari 18 kasus leptospirosis tersebut, lima orang di antaranya meninggal dunia.
Daerah yang paling banyak terjadi kasus leptospirosis adalah di wilayah Semarang Utara dan Pedurungan. Terlebih lagi, daerah tersebut merupakan wilayah di Kota Semarang diterjang banjir dan rob.
Kepala Dinkes Kota Semarang, Moh Abdul Hakam telah meminta petugas puskesmas yang wilayah kerjanya terdapat bencana banjir atau rob agar melakukan surveilan aktif tiga pekan pasca banjir dan rob.
“Kita tidak boleh pasif hanya nunggu pasien datang (ke puskesmas) dengan demam, kuning matanya, nyeri betis. Itu adalah ciri khas pasien leptospirosis. Itu nenurut saya sudah terjadi keterlambatan (penanganan),” ujarnya dikutip dari semarangkota.go.id, Kamis (7/3/2023).
Jika ditemukan warga mengalami demam, petugas bisa melakukan skrining awal sehingga akan segera diketahui apakah warga tersebut menderita demam biasa, DBD, leptospirosis, atau penyakit lain yang kerap terjadi saat musim hujan.
Kebanyakan pasien yang berakhir meninggal dunia akibat leptospirosis ini diketahui juga memililki penyakit penyerta.
“Yang meninggal ternyata juga punya komorbid lain, diabetes. Jumlah bakteri terlalu tinggi sehingga masuk ke organ-organ vital. Kemudian, antibodi sendiri yang lemah, akhirnya tidak bisa mengatasi bakteri tinggi masuk ke organ vital. Bakteri lepto sering ke gijal, jantung, paru,” jelas Hakam.
Selain meminta petugas aktif melakukan surveilans, Hakam juga meminta masyarakat gencar melakukab operasi tangkap tikus (OTT) OTT harus dilakukan bersama-sama satu kampung agar tikus-tikus di lingkungan bisa tertangkap.
Pasalnya, tubuh tikus terutama tikus got memiliki kandungan bakteri leptospirosis yang tinggi.
“Bakteri bisa masuk ke tubuh seseorang melalui luka, kaki tidak pakai alas, tangan. Itu kemudian jadi tempat masuk,” terangnya. (ade)