Jakarta (pilar.id) – Anggota DPR RI Rofik Hananto meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Menurutnya, ada yang janggal dalam pengelolaan dana haji.
Kecurigaan tersebut dilatarbelakangi oleh usulan Kementerian Agama (Kemenag) untuk menaikkan biaya haji yang sebelumnya sebesar Rp39,8 juta pada tahun 2022 naik 2 kali lipat menjadi Rp69,2 juta di tahun 2023. Kenaikan Ongkos Naik Haji (ONH) tersebut menurut Kemenag disebabkan oleh keperluan menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.
Selain itu, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Konsul Jenderal RI di Jeddah Arab Saudi terdapat kenaikan pada tarif layanan masyair dari 1.000 riyal atau sekitar Rp4 juta menjadi 5.600 riyal atau sekitar Rp22 juta. Masyair adalah layanan transportasi dan akomodasi jemaah dari Mekkah ke Arafah.
Rofik mengatakan, kenaikan biaya haji yang mencapai 2 kali lipat ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk mereformasi manajemen haji di Indonesia. Menurutnya, manajemen haji memang perlu direformasi agar lebih efisien.
“Keuangan haji juga harus dipastikan yang punya hak hasil investasi bisa mendapatkan sesuai haknya. Jangan sampai juga ada yg berangkat haji sebenarnya menggunakan uang hak (hasil investasi) jamaah lainnya,” kata politikus PKS itu.
Menurut Fraksi PKS, berdasarkan temuan KPK, keuntungan pengelolaan dan investasi setoran awal dana haji Rp25 juta per calon jamaah haji selama 20-30 tahun sudah berkurang bahkan habis digunakan pemerintah. Salah satunya disebabkan oleh keuntungan pengelolaan dana haji diambil pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dan Sukuk yang keuntungannya hanya 5 persen sedangkan inflasi 5,4 persen sehingga keuntungan untuk jamaah habis
“Setelah menabung 20-30 tahun, seharusnya tiap calon jamaah haji mendapatkan bagi hasil sekitar Rp 55 juta. Tapi faktanya 70 persen keuntungan pengelolaan dana haji dijadikan SUN dan Sukuk oleh pemerintah,” ungkap Rofik.
Disaat yang sama, lanjut Rofik, BPKH sebagai perusahaan juga tidak memiliki modal sama sekali. Biaya pengelolaan serta gaji pegawai diambil dari keuntungan dana haji tersebut.
“Akumulasi faktor itu semua membuat biaya indirect cost dana haji yang dulu sebesar 25 persen menjadi 50 persen, menyebabkan minus,” jelas dia.
Rofik mengatakan pengelolaan dana haji yang kurang optimal ini menjadikan masyarakat yang terkena imbasnya, dimana masyarakat sendiri sudah memercayakan uangnya untuk dikelola dengan baik di pemerintah.
“Anomali ONH Indonesia, salah urus dan kelola dana jamaah masyarakat yang kena imbasnya,” tutur Rofik. (ach/hdl)