Jakarta (pilar.id) – Diskusi daring yang bertajuk ‘Peluang dan Tantangan: Etika dan Politik Kenegaraan Indonesia’ diselenggarakan oleh LP3ES bersama Universitas Paramadina, dan dimoderatori oleh Swary Utami Dewi, membahas isu-isu seputar etika dalam perilaku politik dan kenegaraan Indonesia.
Prof. Didik J. Rachbini, salah satu pembicara, menyoroti pentingnya etika dalam kekuasaan dan perannya dalam mengatur perilaku politisi dan individu yang terlibat dalam pemerintahan.
Ia menekankan bahwa dalam demokrasi, keberadaan aturan yang kuat sangat penting untuk menghindari praktik-praktik banditisme politik.
Hadi Purnama, Direktur Pusat Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, menekankan bahwa etika memiliki peran krusial dalam konteks kekuasaan. Etika dianggap sebagai landasan yang dapat mengubah perilaku politik karena berakar pada kekuasaan yang ada. Hadi juga menyoroti pentingnya hukum yang didasarkan pada etika.
Hamid Basyaib, Aktivis dan Mantan Jurnalis, memberikan contoh etika politik yang baik pada masa lalu, merujuk pada sikap perdana menteri Syahrir. Sikap beliau yang mengganti biaya kerusakan mobil warga yang ditabraknya tanpa menyebutkan jabatan atau identitas dirinya, menjadi contoh etika politik yang patut dicontoh.
Dalam konteks filsafat politik, Hamid Basyaib menegaskan bahwa etika adalah elemen utama yang mendasari segala hal, bahkan lebih utama daripada hukum. Etika dianggap sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama, terutama dalam dunia politik.
Sidratahta Mukhtar, Dosen PTIK dan Pengamat Militer, membahas etika dalam sistem militer dan kepolisian. Ia menyoroti pentingnya etika dalam sistem komando militer dan menekankan bahwa etika demokrasi harus dibangun terlebih dahulu sebelum terlembaga dalam institusi negara.
Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem, membawa data dari The Economist pada tahun 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-54 dalam hal demokrasi global. Ia juga mengutip hasil survei LSI yang menunjukkan bahwa partai politik dan tim sukses capres/cawapres dianggap memiliki potensi tertinggi untuk melakukan kecurangan dalam Pemilu 2024.
Titi menekankan pentingnya aktivisme, baik dalam bentuk pengawalan dan literasi pemilu, aktivisme hukum sebagai bentuk perlawanan masyarakat sipil, maupun aktivisme digital untuk memperluas efektivitas advokasi dan gerakan.
Diskusi ini memberikan wawasan mendalam tentang peran etika dalam politik dan kenegaraan Indonesia, serta menyoroti tantangan dan peluang yang dihadapi dalam membangun etika yang kuat dan demokrasi yang berkualitas. (ipl/hdl)