Jakarta (pilar.id) – Jelang perayaan tahun baru 2023 Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) memprediksi bakal terjadi cuaca ekstrem dengan intensitas curah hujan tinggi. Hal itu disebabkan, pertemuan fenomena muson Asia dengan arus lintas ekuator yang dapat meningkatkan awan hujan.
“Hujan lebat hingga ekstrem diprediksi mulai hari ini, sampai 6 Januari 2023,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) Dwikorita Karnawati, di Jakarta, Selasa (27/12/2022).
Selain itu, adanya indikasi pembentukan pusat tekanan rendah di sekitar wilayah Australia yang dapat memicu terbentuknya pola pertemuan dan perlambatan angin. Pembentukan pusat tekanan rendah tersebut, dapat meningkatkan pertumbuhan awan hujan dan angin kencang di wilayah Sumatra, Jawa, hingga Nusa Tenggara.
“Serta berdampak pada peningkatan gelombang tinggi di perairan Indonesia. Jadi ini perlu diwaspadai gelombang tinggi juga,” kata Dwikorita.
Beberapa hari yang lalu, lanjut Dwikorita, BMKG juga mendeteksi adanya siklus tropis utara di Indonesia. Bibit siklon tropis utara tumbuh di Samudra Pasifik atau sebelah utara Papua Barat. Meski bergerak menjauhi Indonesia, tetapi patut diwaspadai fenomena lainnya, yaitu Madden-Julian Oscillation (MJO) yang melintasi kepualauan Indonesia. Pertumbuhan awan hujan menjadi semakin ekstrem dalam sepekan ke depan dengan adanya gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial.
“Sehingga berdampak pada bertambahnya awan-awan hujan,” kata dia.
Beberapa daerah yang diprediksi bakal terjadi hujan lebat hingga gelombang tinggi sampai dengan 2 Januari 2023. Daerah tersebut antara yaitu Banten, DKI Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
“Dan yang penting lagi, potensi banjir rob ada di 21 wilayah pesisir. Bahkan kecepatan arus mencapai 150 cm/detik, ini sangat mengganggu dalam pelayaran,” kata Dwikorita.
Untuk mengantisipasi cuaca buruk tersebut, BMKG akan bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kerja sama tersebut untuk melakukan modifikasi cuaca. Menurutnya, siklus cuaca tahun ini memang berbeda dengan akhir 2021 lalu. Saat ini, La Nina lebih rendah tetapi dibarengi dengan fenomena lain, yakni MJO, monsun Asia, dan arus lintas ekuator yang membuat semua orang harus siaga.
“Kami sedang bekerja sama dengan BRIN, kerja sama untuk menerapkan teknologi modifikasi cuaca agar awan hujan yang akan masuk ke darat itu dapat dipaksa turun di laut Jawa atau di luar pemukiman, danau atau waduk,” tandas Dwikorita. (ach/hdl)