Tangerang (pilar.id) – Para aktivis lingkungan pada Rabu (15/6/2022), berkumpul di area Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, tempat PT Unilever Indonesia Tbk menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan 2022. Para aktivis lingkungan mendesak perusahaan tersebut menghentikan produksi dan konsumsi sachet.
Anggota Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) membawa manekin berbalut sachet bermerek produk-produk Unilever, yang sebagian besar dikumpulkan dari kegiatan bersih sungai dan pantai di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai protes kepada Unilever karena produknya banyak menggunakan plastik sachetan.
Menurut World Economic Forum, kemasan plastik sachet menyumbang 16 persen dari sampah plastik yang ditemukan di perairan dan lingkungan Indonesia. Demikian pula, hasil audit merek #breakfreefromplastic mengidentifikasi sachet sebagai salah satu sampah plastik yang paling banyak ditemukan.
Direktur Eksekutif Ekologi Observasi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON), Prigi Arisandi, mengatakan, hasil audit merek dalam Ekspedisi Nusantara menyebutkan Unilever secara konsisten menempati peringkat tiga besar perusahaan pencemar lingkungan di beberapa kota besar, yang dilakukan selama 300 hari perjalanan menyusuri sungai-sungai di Indonesia.
Selain melakukan audit merek, ECOTON yang juga merupakan anggota AZWI, turut mendokumentasikan polutan mikroplastik di sungai. “Sebagian besar pencemaran mikroplastik adalah filamen yang telah terfragmentasi dari film plastik dan kemasan sachet,” kata Prigi.
Padahal, Unilever telah berkomitmen untuk memastikan semua kemasan plastik, termasuk sachet, dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau dapat dikomposkan pada tahun 2025. Unilever juga telah bergabung dalam Traktat Plastik Global yang mengikat secara hukum, di mana United Nations Environment Assembly menyetujui untuk mengadopsi dan memasukkan siklus hidup plastik secara menyeluruh dalam rencananya.
Meski demikian, Unilever terus mempromosikan sachet di Asia Tenggara dan India, dengan menggambarkan model bisnis ini sebagai “pro-masyarakat menengah ke bawah”. Lebih buruk lagi, saat ini Unilever mempertahankan fokus pada penanganan di akhir yang sangat berpolusi seperti insinerator dua tahap di pabrik semen dan teknologi daur ulang bahan kimia CreaSolv.
Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi mengatakan, para aktivis lingkungan telah berulang kali meminta Unilever, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membagikan peta jalan pengurangan sampah mereka, tetapi hingga saat ini tidak ada dokumen yang dibuka untuk umum.
“Saya tidak kaget, jika Unilever dengan bangga memamerkan daur ulang bahan kimia dan RDF di pabrik semen yang merupakan solusi palsu dalam rencana keberlanjutannya,” kata Atha.
Studi AZWI dengan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) tahun lalu, menunjukkan bahwa daur ulang kimia di Indonesia yang dipromosikan oleh Unilever tidak berhasil, kemasan sachet mereka tidak dapat didaur ulang secara berkelanjutan dan aman.
Koordinator AZWI Rahyang Nusantara mencatat akan, Unilever juga harus berhenti mengirimkan sampah sachet mereka ke refuse-derived fuel (RDF). “Karena teknologi ini juga mencemari saluran air dan kualitas udara, serta dapat memperburuk perubahan iklim,” Rahyang. (her/din)