Medan (pilar.id) – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof. Dr. Taruna Ikrar, Ph.D., M.Biomed, mengingatkan ancaman serius yang disebut sebagai silent pandemic akibat resistansi antimikroba dalam orasi ilmiah di Universitas Prima Indonesia (Unpri), Medan.
Acara ini juga menjadi momentum penganugerahan gelar ilmuwan berpengaruh di Indonesia kepada Taruna Ikrar oleh Rektor Unpri, Prof. Dr. Crismis Novalinda Ginting, M.Kes.
Hadir dalam acara tersebut Menteri Hukum Supratman Agtas, Penjabat Gubernur Sumatera Utara Agus Fatoni, serta para rektor dari berbagai perguruan tinggi.
Resistansi Antimikroba: Ancaman Global
Taruna menjelaskan bahwa resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, atau jamur mengembangkan kemampuan untuk bertahan dari paparan obat yang sebelumnya efektif membunuh mereka.
“Resistansi ini merupakan ancaman serius karena dapat merusak kemampuan kita dalam mengendalikan penyakit menular dan infeksi,” ujar Taruna.
Ia menyoroti proses biologis resistansi antimikroba yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.
“Setiap paparan agen antimikroba menciptakan seleksi ketat, memungkinkan mikroorganisme dengan gen tahan hidup dan berkembang biak,” tambahnya.
Taruna juga menekankan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak rasional, baik di bidang kesehatan maupun peternakan, menjadi salah satu pendorong utama fenomena ini.
Dampak Resistansi Antimikroba
Menurut Taruna, resistansi antimikroba tidak hanya menjadi ancaman kesehatan global tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang besar.
Bank Dunia memproyeksikan kerugian global akibat resistansi ini dapat mencapai 100 triliun Dollar AS pada 2050. Selain itu, resistansi antimikroba diperkirakan dapat menyebabkan 10 juta kematian per tahun, melampaui angka kematian akibat kanker.
“Prosedur medis seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi jika resistansi antimikroba tidak segera diatasi,” jelas Taruna.
Strategi Penanganan
Mengatasi resistansi antimikroba memerlukan pendekatan multidisipliner dan kolaborasi lintas sektor.
“Penanganan harus mencakup pengembangan obat baru, pengendalian penggunaan antimikroba yang bijak, serta peningkatan praktik pencegahan infeksi,” papar Taruna.
Ia juga menyebut terapi inovatif seperti terapi fago sebagai salah satu solusi masa depan. Terapi ini menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik.
Taruna menegaskan pentingnya respon internasional untuk mengatasi krisis ini.
“Kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu menjadi kunci. Kita semua memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini,” tutup Taruna. (usm/hdl)