Surabaya (pilar.id) – Semua bermula dari pengalaman Irzal Zaini, alumnus Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Surabaya (Ubaya), saat mengikuti perlombaan bridge.
Saat itu dirinya melihat ada technical director yang harus mengelilingi tiap meja pemain untuk memantau adanya kecurangan dan merasa bahwa cara tersebut tak terlalu efektif
Maka dirinya berinsiatif membuat prototipe alat untuk memantau jalannya kompetisi bridge secara otomatis dan bertujuan meminimalisir adanya kecurangan oleh pemain.
“Umumnya kalau permainan bridge di Indonesia, hanya ada satu technical director. Hal ini membuat boros tenaga dan tidak bisa memantau keseluruhan meja pemain secara maksimal. Maka saya bersama dosen pembimbing skripsi saya, Susilo Wibowo, ingin meminimalisir permasalahan tersebut,” ungkapnya, Jumat (28/4/2023)
Selain itu, ia menjelaskan akibat dari technical director yang tidak bisa memantau keseluruhan meja pemain secara maksimal. Maka dapat menimbulkan kecurangan, yaitu pemain mengulur waktu saat melempar kartu.
“Alat ini bisa mendeteksi lamanya pemain melakukan lemparan kartu yang telah diintegrasikan dengan sistem QR code. Kode barcode ditempel di tiap kartu. Sebelum melempar kartu, pemain dapat scan barcode menggunakan scanner pada kartu yang ingin dimainkan,” jelasnya
Lebih rinci, ia menyebut jika alat ini, terdapat empat alat scanner yang terbagi menjadi north, south, west, dan east (utara, selatan, barat, timur) sesuai posisi duduk pemain, dengan cara kerja setelah scan, akan muncul data delay waktu. Data ini menunjukkan berapa lama seseorang melakukan scan kartu dari pemain sebelumnya.
“Data ini akan muncul di aplikasi yang ada di ponsel technical director yang dibuat sebagai acuan menentukan skor. Maka technical director tidak perlu keliling lagi. Cukup pantau di satu tempat sudah bisa dapat data otomatis dan lebih akurat,” jelas lulusan SMAN 5 Surabaya ini.
Dalam prosesnya, Irzal mengungkapkan jika pembuatan inovasi tersebut membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. Pembuatan programnya sendiri membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Kemudian, ia harus membuat aplikasi yang bisa diakses di ponsel.
“Tantangan terbesarnya adalah menyusun coding yang membuat barcode dapat terkirim ke database. Saya mengusahakan cara kerjanya dengan membaca banyak buku,” ungkapnya.
Adanya pembuatan prototipe buatannya, ia berharap inovasinya tersebut bisa diimplementasikan pada kompetisi bridge sesungguhnya.
“Kedepannya, prototipe ini bisa dikembangkan menggunakan teknologi yang lebih canggih, seperti image processing. Sehingga, kompetisi bridge bisa berjalan dengan lebih efektif,” harapnya. (jel/hdl)