Surabaya (pilar.id) – Banyak bangunan tua runtuh dimakan jaman. Tapi tidak bagi Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria atau yang akrab disebut Gereja Kepanjen. Bertahan ratusan tahun, gereja yang terletak di Jl Kepanjen 4-6 Surabaya ini tetap berdiri megah. Tetap menawarkan keanggunan dan keindahan, juga banyak cerita di sepanjang perjalanannya.
Gereja ini mulai dibangun pada tahun 1810-an di tikungan Roomsche Kerkstraat dan Komedieplein, kini Jl Cendrawasih dan Jl Merak. Bersamaan dengan penyelesaian di beberapa sisi, tiba-tiba wabah kolera melanda. Seperti halnya pandemi Covid-19 sekarang, warga setempat pun banyak yang jatuh sakit bahkan meninggal.
Keputusan saat itu jelas, fungsi bangunan sebagai gereja harus ditunda. Karena ada kepentingan yang dinilai lebih mendesak ; rumah sakit darurat. Maka di sepanjang tahun itu, gereja berfungsi sebagai rumah sakit darurat untuk penderita kolera, penyakit yang disebabkan diare berat dan dehidrasi.
Setiap orang bekerja saling menyelamatkan. Tak ada yang sempat bertanya tentang apa agamamu. Yang jelas, di kawasan itu, semua berupaya untuk saling membantu. Untuk kegiatan keagamaan umat Katolik, warga menggunakan sebuah rumah di Jl Gatotan Surabaya, rumah yang kini dikenal sebagai jadi SDK St. Aloysius yang berfungsi sebagai rumah pastoran.
Saat wabah meredup, dan beberapa rumah sakit mulai kosong, proses pembangunan gereja dilanjutkan kembali. Sampai tahun 1821, pembangunan selesai. Dan setahun kemudian, mulai difungsikan sebagai rumah ibadah umat kristiani. Sejak saat itu, sayup suara pujian mengalun syahdu dari ruang gereja.
Melewati banyak masa, melewati banyak harapan. Hingga suatu saat, gereja itu rusak gara-gara gempa. Temboknya retak, sebagian mulai rusak dimakan usia. Kondisi ini tentu memunculkan rasa was-was bagi umat yang biasa berdoa di dalamnya.
Bersamaan dengan itu, gelombang industrialisasi menghimpit gereja di Komedieplein ini. Belum lagi pemerintah kolonial saat itu memiliki rencana sendiri. Bahwa Roomsche Kerkstraat dan Komedieplein harus menyertai skenario kawasan strategis perdagangan, salah satunya dengan mengimbangi tempat yang kini dikenal sebagai Jembatan Merah.
Gereja makin terancam. Dikepung gedung perdagangan, Pabrik Senjata Altellerie Constructie Winkel, sentra pembuatan uang logam, tangsi prajurit, rumah sakit tentara, dan lain sebagainya.
Puncaknya, Pemerintah Hindia Belanda ngotot meminta gedung gereja untuk digunakan sebagai pabrik pembuat uang logam. Mereka bersedia membayar, agar uangnya bisa digunakan untuk membeli tanah untuk persiapan pendirian gereja baru pengganti bangunan yang ada di Jl Roomsche Kerkstraat dan Komedieplein.
Benar saja, saat gereja tak lagi bisa bertahan, kawasan Kepanjen kemudian jadi pilihan. Tahun 1889, Pastor CWJ Wenneker membeli sebidang tanah di Tempelstraat (sekarang Jl Kepanjen, red). Tanah depan rumah Suster Ursulin ini dibeli dengan harga 8815 Gulden (Perjalan Sejarah Berdirinya Paroki ‘Kelahiran Santa Perawab Maria’, Nuradi). Penggalian dana untuk pembangunan gereja ini dilakukan oleh Pastor van Santen SJ.
Catatan ini berbeda dengan data dari sumber lain. Disebutkan, tahun 1866, Pater van Der Hagen datang dan membeli tanah pastoran di Jl Kepanjen dengan harga 21 ribu pounds. Sebelumnya, ia baru diangkat menjadi pastor dan superior menggantikan Pater Palinckx yang pindah di stasi baru di Yogyakarta.
Yang pasti, berkat bantuan arsitek W. Westmaas dari Semarang, gereja ini mulai dibangun pada tahun 1899. Penentuan lokasi, agaknya sudah sangat diperhitungkan oleh pastur dan arsiteknya. Letak bangunan itu sudah dirancang sehingga membujur barat-timur dengan langgam atau corak arsitek neo gotik.
Gereja ini memiliki gaya yang khas. Corak arsitekturnya mengikuti gereja yang berkembang kuat pada abad 12 hingga 16, yaitu gotik. Corak ini muncul di gereja-gereja Perancis Tengah, dengan katedral-katedral terkenal di Charters, Reims dan Amiens. Dari sini, corak arsitektur gotik menyebar ke beberapa negara hingga muncul Gotik Italia, Gotik Jerman dan Gotik Vlaam atau Belgia.
Mengutip Augustus Webly Normore Pugin (1812-1852), arsitek Katolik yang sangat berpengaruh di abad 19, gotik adalah pengungkapan yang jujur dari konstruksi dan fungsi yang benar dari agama yang benar.
Apapun, pembangunan gereja diawali dengan pemancangan tonggak pertama pada tanggal 12 April 1899, diikuti tonggak-tonggak lain sebanyak 790 batang pinus yang khusus didatangkan dari Eropa. Sumber lain menyebut jika tonggak-tonggak itu didatangkan dari Kalimantan.
Usai pemancangan tonggak, tanggal 19 Agustus 1899, Pastor PJ van Santen meletakkan batu pertama. Bersamaan dengan prosesi ini, sebuah tabung timah berisi piagam di atas kulit hewan (perkamen, red) ditanam sebagai penanda. Konon, total biaya yang digunakan untuk membangun gereja diperkirakan mencapai 165 ribu Gulden.
Tanggal 5 Agustus 1900, Mgr Edmundus Sybrandus Luypen memberkati gedung gereja yang dipersembahkan pada Bunda Maria dan memberi nama ‘Kelahiran Santa Perawan Maria’. (hdl)