Surabaya (pilar.id) – Kejadian ratusan siswi di Kabupaten Ponorogo yang mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia beberapa hari ke belakang.
Pasalnya, ratusan siswi yang mengajukan dispensasi nikah di Kabupaten Ponorogo tersebut sudah dalam kondisi hamil. Kasus ini, juga menjadi perhatian salah satu Dosen Fakulas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Lutfi Agus Salim.
Lutfi Agus Salim yang merupakan dosen di Unair pun membeberkan beberapa penyebab tingginya angka perkawinan anak di Indonesia termasuk yang terjadi di Kabupaten Ponorogo.
Menurut Lutfi, ada empat faktor utama yang menyebabkan angka perkawinan anak tinggi. Keempat faktor tersebut adalah pendidikan, pemahaman agama, ekonomi, dan sosial budaya.
Empat faktor tersebut dinilai oleh Lutfi sebagai penyebab angka perkawinan anak di Indonesia sangat tinggi sebagaimana data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020.
Dimana, BPS menemukan fakta bahwa 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun melangsungkan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun. Atau, ada sebanyak 1,2 juta jiwa perempuan yang melangsungkan pernikahan sebelum usia 18 tahun.
Apalagi, Jawa Timur memang termasuk dalam kategori tiga daerah dengan angka perkawinan anak paling tinggi di Indonesia bersama dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
“Kenaikan angka perkawinan anak di Ponorogo, Jawa Timur bisa saja disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Remaja mencoba melakukan aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya, sehingga mengakibatkan kehamilan di luar nikah dan akhirnya terpaksa terjadi pernikahan anak,” kata Lutfi, Senin (16/1/2023).
Menurut Lutfi, perkawinan anak cenderung berdampak pada pihak perempuan. Secara umum, dampak yang timbul antara lain pendidikan, ekonomi, psikologi, dan kesehatan. Khusus untuk kasus di Ponorogo, yang disebabkan kehamilan tidak diinginkan, Lutfi menyebut, hal itu pasti akan berdampak pada segi kesehatan.
Menikah muda, lanjut Lutfi, berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak, berisiko kelahiran prematur, anak yang dilahirkan stunting, dan bisa membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian.
“Perkawinan anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan seksual dan gangguan kesehatan reproduksi,” sambung Lutfi.
Lutfi menambahkan, diperlukan penegakan sesuai dengan amanat Undang Undang (UU) Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan. Dalam UU tersebut dinyatakan, batasan usia minimum pernikahan, yaitu 19 tahun dengan tindakan serius seperti penyediaan akses yang sama ke pendidikan dasar dan menengah yang berkualitas untuk anak perempuan dan laki-laki terutama dalam membahas edukasi seks sejak dini.
“Pemberdayaan anak perempuan secara komprehensif melalui sumber daya pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Termasuk dengan memungkinkan penyediaan informasi dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” jelas Lutfi.
Sebelumnya, pada tahun 2022 lalu, Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, mencatat terdapat 198 permohonan pengajuan dispensasi kawin usia anak. Pengajuan dispensasi pernikahan tersebut didominasi oleh hamil di luar nikah.
Untuk diketahui, dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan. Meskipun menurun, angka pernikahan anak pada 2021 masih tetap tinggi. (ach/fat)