Surabaya (pilar.id) – Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sekitar 93 orang yang terlibat dalam skandal pungutan liar di rumah tahanan KPK pada tanggal 17 Januari 2024. Kasus tersebut kemudian ditingkatkan menjadi penyelidikan oleh KPK pada Kamis (25/1/2024) lalu, sementara Dewas menjalankan sidang kode etik.
Menanggapi peristiwa ini, Drs Ari Wibowo MS, Dosen Sosiologi, menyoroti perlunya perubahan Undang-Undang. Pungutan liar, menurutnya, bukanlah fenomena baru di dunia penjara, dan kejadian ini mengungkapkan sisi gelap dari kondisi tahanan yang terpinggirkan.
“Pungutan liar ini adalah bentuk intimidasi. Keterbatasan fasilitas dan penutupan akses membuat tahanan rela melakukan apa saja untuk merasakan kenikmatan yang sulit diakses oleh mereka yang terpinggirkan. Pungutan liar menjadi bentuk ekspresi dari situasi ini,” ujar Ari.
Ia menekankan bahwa pungutan liar bukanlah rahasia baru dan telah menjadi pembicaraan umum di antara tahanan. Meskipun tidak secara terbuka dibicarakan, tetapi informasi tersebar melalui percakapan mulut ke mulut.
“Meskipun tidak secara gamblang disebutkan, tapi melalui percakapan mulut ke mulut. Misalnya, alasan berobat kemudian membayar pungutan liar padahal sebenarnya pergi ke hotel bintang lima. Itu bukan sesuatu yang mengejutkan karena sudah terlalu sering terjadi,” tambahnya.
Ketika pungutan liar terjadi di dalam rumah tahanan KPK, hal ini menimbulkan risiko tinggi karena merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang seharusnya menegakkan hukum dan memberantas korupsi.
“Kejadian seperti ini semakin memperkuat keraguan masyarakat terhadap KPK. Mengingat KPK seharusnya menjadi lembaga yang memberantas korupsi, tetapi korupsi justru terjadi di dalamnya,” ungkap Ari.
Ia menilai bahwa perubahan mendasar perlu dilakukan, terutama dalam konteks Undang-Undang. Saat ini, Undang-Undang KPK berada di bawah presiden, yang dapat mempengaruhi penanganan kasus di KPK sesuai kebijakan presiden.
“Struktur KPK harus kembali menjadi independen. Perlu perubahan mendasar, terutama dalam Undang-Undang. Saat ini, Undang-Undang KPK berada di bawah presiden, sehingga penanganan kasus di KPK harus sesuai dengan kehendak presiden,” jelasnya.
Ari mengungkapkan bahwa, berdasarkan survei, kepercayaan masyarakat terhadap KPK mulai menurun, dan perubahan dalam Undang-Undang dan kepemimpinan diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan tersebut.
“Sudah tidak ada cara lain selain merombak Undang-Undang, merombak pemimpin, menggantinya dengan yang baru. Perlu penggalian lebih mendalam, desakan oleh masyarakat atau ultimatum tokoh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat demi kebaikan dan keberlangsungan masa depan KPK itu,” tutupnya. (ipl/hdl)