Jakarta (pilar.id) – Komisi IV DPR RI mempertanyakan resort-resort mewah di beberapa kawasan taman nasional. Padahal taman nasional mayoritas adalah kawasan konservasi.
“Dari total 27,14 juta hektar kawasan konservasi 60 persen adalah merupakan taman nasional,” jelas anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin, di Jakarta, Rabu (9/6/2022).
Namun, politikus PKS ini mencatat banyak konflik yang terjadi pada pengelolaan taman nasional. Tidak hanya dijadikan lahan perkebunan, tapi di taman nasional juga terdapat aktivitas pertambangan.
“Ini perlu perhatian khusus,” kata dia.
Lebih mengejutkannya lagi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak menganggarkan secara eksplisit untuk perlindungan dan penanganan konflik taman nasioal. “Ini banyak masalah, tapi anggaran nggak kelihatan,” kata dia.
Mayoritas anggaran Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) KLHK justru malah diarahkan pada proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan program food estate. Padahal, setelah dievaluasi bersama Kementerian Pertanian (Kementan) program food estate dinyatakan gagal.
“Seharusnya KSDAE harus menjadi yang terdepan dalam perlindungan hutan dan khususnya memberikan alokasi anggaran dan perhatian yang besar pada pengelolaan taman nasional,” tutur Andi.
Secara khusus, Andi juga menyoroti soal pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur yang merupakan Unit Pelaksana Tugas KLHK. Dari total 275 hektar zona pemanfaatan, seluas 274,13 hektar pengelolaanya diserahkan kepada pihak swasta.
“Untuk mengelola dan selanjutnya akan dibangun resort-resort eksklusif,” kata dia.
Kebijakan tersebut, menurut Andi tidak sejalan dengan arah paradigma pengelolaan taman nasional yang seharusnya berbasis masyarakat. Namun, pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo justru semakin mengarah kepada kapitalisasi berskala besar.
“Hal ini akan mengancam kehidupan masyarakat sekitar kawasan!” tegas dia.
Karena itu, Andi meminta agar pemerintah melibatkan masyarakat lokal dalam penyusunan perencanaan pengembangan kawasan. Ia mendapat informasi ada 3 perusahaan swasta yang akan menjadi pengembang di kawasan tersebut.
Sementara itu, anggota Komisi IV Dedi Mulyadi juga pernah mendengar keluhan dari masyarakat yang tinggal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun–Salak (TNGHS), Bogor, Jawa Barat. Masyarakat mengeluhkan tidak mendapat kejelasan tentang status mereka, namun orang-orang berduit membangun berbagai fasilitas, termasuk resort mewah di kawasan tersebut.
“Bagi mereka itu jadi aneh, karena setiap hari libur, sudah jalan sempit hanya kebagian mobil parkir yang panjang, dan kami tidak mendapat kontribusi apa-apa. Karena orang-orang di resort itu sudah memiliki banyak fasilitas,” kata Dedi.
Menurut Dedi, KLHK seharusnya memiliki program yang dapat mensinergikan masyarakat lokal dengan alam sekitar. Selanjutnya, KLHK membuat design tata ruang, mulai dari sanitasi hingga penataan rumah penduduk.
“Masyarakatnya dididik dan disekolahkan, ke arah pariwisata yang seharusnya mereka yang nguasain,” kata Dedi. (ach/hdl)