Jakarta (pilar.id) – Setelah mendapatkan desakan dari berbagai pihak, bahkan sempat terjadi demonstrasi untuk membuka draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidaba (RKUHP) yang saat ini, sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPR) RI.
RKUHP tersebut, menjadi perbincangan hangat di masyarakat sebab adanya pasal baru terkait tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal tersebut, dinilai kontroversial dan represif. Sebab, tidak menutup kemungkinan pasal-pasal karet tersebut nantinya digunakan untuk kriminalisasi atas kritik terhadap pemerintah.
Atas kencangnya desakan tersebut, akhirnya DPR pada Rabu (6/7/2022) membuka draf RKUHP tersebut ke publik. Draf tersebut bisa diakses melalui situs resmi DPR RI.
Dalam draf RKUHP final tersebut diatur bahwa penghina presiden dan wakil presiden dipenjara maksimal 3,5 tahun. Perkara inilah yang jadi kontroversi dan dinilai tidak layak untuk dihidupkan kembali di KUHP.
Dalam draf yang diterima Pilar.id, menjelaskan bahwa penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, khusus poin penghinaan, ada di Pasal 218, 219, dan 220.
Pasal 218 ayat (1) menerangkan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Sementara Pasal 218 ayat (2) menjelaskan, “Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Sementara si Pasal 219 tertulis bahwa “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal 220 ayat (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Pasal 220 ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden. (her/fat)