Banda Naira, Maluku (pilar.id) – Festival tari merupakan salah satu tradisi budaya yang termasuk dalam Barang Budaya Jalur Rempah 2022, khususnya di Banda Naira yang dikenal sebagai titik nol lokasi Jalur Rempah, khususnya untuk pala.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggelar festival tari Cakalele di Banda Naira, Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, untuk mendukung pelestarian tari tradisional.
“Festival ini tidak hanya mengumpulkan masyarakat dari delapan desa adat di Pulau Banda, tetapi juga merupakan bagian dari upaya melestarikan budaya yang telah berkembang di tengah masyarakat,” ungkap Dirjen Kebudayaan Kementerian Hilmar Farid saat membuka acara. Festival Tari Cakalele di Banda Naira pada hari Senin.
Farid mengatakan Cakalele bukan sekadar tarian untuk pameran publik, tetapi memiliki muatan ritual, dan untuk menampilkan atau mendemonstrasikannya membutuhkan persiapan yang panjang.
“Saya melihat ada ungkapan syukur bahwa pada akhirnya tari Cakalele dari delapan desa adat ini bisa dipertemukan dalam sebuah festival, serta dilihat langsung oleh Wandan (masyarakat) dari Pulau Kei, Maluku Tenggara, yang keturunan Banda,” paparnya.
Acara ini menjadi kesempatan penting bagi masyarakat Wandan untuk datang dan melihat tanah leluhur mereka, yang ditinggalkan sejak empat abad lalu, katanya.
Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengundang dan memfasilitasi kunjungan Baudara Wandan dari Pulau Kei yang dipimpin oleh Raja Bashar Alimuddin Latar yang tiba di Banda Naira pada 16 Juni 2022.
Basudara Wandan adalah keturunan Banda yang kini tinggal di Pulau Kei, dan dikenal sebagai Negeri Banda Ely dan Banda Elat. Mereka diusir dan selamat dari pembantaian VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1621 setelah mereka menolak untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Pulau Banda.
Farid mengatakan, pada dasarnya, festival ini dimaksudkan untuk menunjukkan keterlibatan masyarakat yang luas dalam melestarikan dan memperkenalkan budaya dan adat istiadat warisan nenek moyang yang masih dipraktikkan hingga saat ini.
“Beginilah seharusnya acara budaya dilaksanakan, dan benar-benar melibatkan masyarakat. Masyarakat (menginisiasi) pelestarian budaya, (dan) kami (Ditjen Kebudayaan) hanya memfasilitasi saja agar bisa terwujud,” katanya.
Para peserta acara mengungkapkan kekaguman dan kebanggaannya karena bisa menyaksikan tarian Cakalele yang dibawakan oleh masyarakat dari delapan desa adat Pulau Banda.
“Pulau Banda memang sudah sangat terkenal dan melegenda karena aroma rempah pala pada zaman dahulu begitu banyak sehingga orang Eropa berusaha (memonopoli). Saya bangga dan senang bisa tiba di Banda, terutama menyaksikan tari Cakalele secara langsung,” jelas Noval Karom, salah satu peserta dari Provinsi Jawa Barat.
Ia melihat pentingnya masyarakat Banda melestarikan dan mengembangkan warisan budayanya agar tidak tergerus dan termakan zaman atau globalisasi dan modernisasi.
“Saya baru pertama kali menyaksikan tari Cakalele, apalagi dipentaskan dari delapan desa. Ini luar biasa dan perlu dilindungi dan dilestarikan, serta diturunkan kepada generasi muda dan anak-anak,” tuturnya.
Seorang peserta dari Sulawesi Tengah, Jeane Pombaela, juga mengungkapkan apresiasi dan kegembiraannya yang luar biasa karena dapat menyaksikan salah satu tradisi masyarakat Pulau Banda.
“Sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pulau Banda tidak hanya terkenal dengan rempah pala yang mendunia, tetapi juga kaya akan banyak budaya dan tradisi. Ini di luar dugaan saya,” cetusnya.
Ditambahkannya, tak hanya terpesona dengan tarian Cakalele, namun juga tarian Siamale dan Wana yang dibawakan oleh warga. Selain itu, masyarakat Banda ramah terhadap pengunjung sehingga membuat mereka merasa disambut. (din/Antara)