Surabaya (pilar.id) – Konflik tenurial antara masyarakat lokal, perusahaan, dan pemerintah terus memicu kerugian sosial, ekonomi, serta kerusakan lingkungan yang masif.
Deforestasi di Indonesia bahkan menyumbang 85 persen emisi tahunan dari aktivitas manusia, menjadikannya sumber utama gas rumah kaca.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Mohammad Adib Drs MA, menawarkan solusi melalui gagasan keadilan lingkungan dan keberlanjutan hutan tropis.
Gagasan tersebut disampaikan Prof Adib dalam orasi ilmiah pengukuhan guru besar di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Kampus MERR-C UNAIR.
Menurutnya, antropologi ekologi (AE) memegang peran kunci dalam mewujudkan keadilan lingkungan dan keberlanjutan hutan tropis melalui program perhutanan sosial (PS).
“Ada empat kata kunci dalam antropologi ekologi untuk mencapai hal ini. Pertama, memahami sistem pengetahuan lokal. Kedua, menjembatani ilmu pengetahuan dan kebijakan. Ketiga, mendorong partisipasi masyarakat. Terakhir, menganalisis dampak sosial dan ekologi,” jelas Prof Adib.
Hutan Tropis Indonesia: Potensi dan Tantangan
Prof Adib menekankan bahwa hutan tropis Indonesia memegang peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem global.
“Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, dengan luas mencapai 120 juta hektare. Hutan ini kaya akan keragaman hayati dan keanekaragaman ekosistem,” ujarnya.
Namun, deforestasi yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah mencapai 20 juta hektare.
“Contohnya, di Provinsi Papua, tutupan hutan berkurang 2.606 hektare dari tahun 2001 hingga 2021. Penyebab utamanya adalah konversi hutan untuk pertanian, ekspansi kelapa sawit, hutan tanaman produksi, dan pertambangan,” paparnya.
Peran Antropologi Ekologi dalam Perhutanan Sosial
Prof Adib menjelaskan bahwa antropologi ekologi mampu mewujudkan perhutanan sosial yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Antropologi ekologi mengungkap kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam serta menggali nilai-nilai budaya dan praktik masyarakat yang menjaga keseimbangan ekosistem,” ucapnya.
Selain itu, antropologi ekologi juga dapat menjadi jembatan antara berbagai kepentingan untuk bekerja sama mengelola hutan tropis secara berkelanjutan.
“Dengan pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial dan ekologi, antropologi ekologi memberikan rekomendasi kebijakan efektif untuk mengatasi konflik tenurial dan degradasi hutan,” tambahnya.
Solusi Berkelanjutan untuk Masa Depan
Prof Adib menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal sangat penting untuk mencapai keadilan lingkungan.
“Melalui pendekatan holistik, kita dapat menciptakan sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak,” pungkasnya.
Dengan gagasan ini, diharapkan Indonesia dapat meminimalisir deforestasi, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menjaga kelestarian hutan tropis sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang. (mad/hdl)