Surabaya (pilar.id) – Media sosial dan dunia digital sudah tidak bisa lagi dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Utamanya para remaja yang setiap hari sudah berinteraksi dan berkomunikasi menggunakan media sosial.
Namun, para remaja tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa bekal dalam menggunakan media sosial. Hal tersebut disampaikan oleh Guru besar bidang ilmu sains informasi Universitas Airlangga Prof. Dr. Rahma Sugihartati.
Menurutnya, para remaja perlu dibekali dengan literasi informasi dan kritis dalam bermedia sosial. Sehingga, perilaku bermedia sosial mereka bisa lebih produktif dan memberikan manfaat.
“Semua kemudahan yang kita peroleh dari teknologi digital itu memang perlu diimbangi dengan literasi informasi dan literasi kritis. Karena kalau tidak, media sosial itu jadi kontraproduktif, ya lebih banyak kontraproduktifnya, merugikan orang lain daripada manfaatnya,” kata Rahma, Rabu (21/9/2022).
Menurut Rahma, literasi informasi dan literasi kritis termasuk dalam aspek kognisi karena berkaitan dengan bagaimana seseorang memproduksi informasi, mengonsumsi informasi dan mereproduksi informasi secara bertanggung jawab.
Literasi informasi dan literasi kritis membutuhkan tingkatan kognisi. Jika seseorang tidak benar-benar bisa menyeleksi, imbuh Rahma, maka dia akan mudah terpengaruh atau percaya begitu saja dengan informasi yang belum tentu benar bahkan akan sembarangan memproduksi informasi tanpa mengetahui efeknya bagi yang mengonsumsi.
“Saya sebut kemampuan kognisi karena tidak cukup hanya pandai memanfaatkan secara operasional media sosial, tetapi juga dia harus punya kesadaran untuk bisa memilah-milah mana informasi benar dan tidak benar atau informasi yang berguna dan tidak berguna,” katanya.
Rahma mengatakan remaja saat ini belum bisa dikatakan bahwa mereka mempunyai literasi informasi dan literasi kritis yang memadai.
Demikian juga pada unsur yang lain, yaitu unsur etika yang seharusnya menuntun seseorang untuk tidak boleh memproduksi informasi yang merugikan seperti perundungan di dunia maya, celaan fisik, dan aktivitas digital lainnya yang mengganggu privasi orang dan bisa merusak harmoni sosial.
“Unsur etika ini juga dia harus tahu apa informasi yang disebar, berupa apapun ke media sosial itu menyalahi etika hukum atau tidak, itu juga sangat penting. Seringkali remaja ini juga sama dengan masyarakat pada umumnya bahwa ketika dia memproduksi informasi, dia tidak tahu efeknya, misalnya, apakah itu berlawanan dengan aturan hukum dan sebagainya,” ujarnya.
Ia mengatakan media sosial memang menjanjikan banyak manfaat dan kemudahan, sementara di sisi lain masih banyak orang yang melupakan efek dan risiko jangka panjang terkait konten yang buruk.
“Remaja gemar bermedia sosial, yang dirasakan kan kemudahannya bagaimana dia bisa berkomunikasi dan mengembangkan jaringan seluas-luasnya. Tapi lupa pada konten-konten yang boleh dan tidak boleh. Itu kadang lupa pada batas-batasnya bagaimana kita memanfaatkan media sosial itu secara bijak dan beretika,” kata Rahma. (fat)