Jakarta (pilar.id) – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengunjungi lahan pertanian Kankakee, Illonois untuk meninjau langsung masalah petani.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina selama hampir 3 bulan, telah membahayakan pasokan global gandum, jagung, minyak goreng dan pupuk. Menurut Gedung putih harga pangan dunia naik hampir 13 persen.
Biden mengatakan akan melakukan semua upaya untuk membantu petani Amerika, untuk mengatasi masalah yang dituduhnya disebabkan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Anda benar-benar tulang punggung negara kita, ini bukan hiperbola. Anda juga memberi makan dunia. Dan kami lihat, dengan perang Putin di Ukraina, Anda seperti tulang punggung kebebasan,” kata Biden.
Pada Rabu lalu, Presiden AS mengumunkan sejumlah kebijakan bagi para petani seperti tambahan dukungan agar petani bisa melakukan dua kali panen dalam setahun, teknologi yang memungkinkan penggunaan lebih sedikit pupuk dan menggandakan pendanaan untuk produksi pupuk dalam negeri menjadi 500 juta Dollar AS.
Sementara itu, Presiden Bank Investasi Eropa, pekan lalu mengingatkan Ukraina memiliki banyak sekali stok gandum.
“Ukraina adalah lumbung gandum Eropa dan kini punya gandum senilai 8 miliar euro dari panen tahun lalu,” ungkapnya.
Mereka, lanjut dia, tidak bisa mengekspor karena tidak ada akses ke laut. Ini salah satu masalah utama yang haus diatasi karena mereka pekerja keras yang menanam secara gencar dan berharap panen yang baik.
“Mungkin 70 persen dari panen tahun lalu dalam beberapa bulan, lalu apa yang harus kita lakukan?” tandasnya.
Akibat dari naiknya harga pangan pangan dan bahan bakar, bulan lalu para petani Sri Lanka melakukan aksi mogok. Akibat dari aksi ini Kabinet dan Perdana Menteri Sri Lanka mengundurkan diri.
Seorang analis menilai krisis ini juga akan semakin melanda sejumlah wilayah dunia yang sudah kekurangan sumber daya.
“Ini kemunduran nyata bagi ekonomi global. Mereka adalah negara-negara yang paling terdampak. Negara-negara yang sangat bergantung pada impor pangan dan energi akan sangat terpukul. Dan secara politik, itu akan sangat sulit bagi negara-negara itu,” ujar seorang analis. (mia/hdl)