Surabaya (pilar.id) – Di depan pengadilan berisi orang-orang berseragam, Sophia Magdalena Scholl berdiri yakin. Tanpa sesal apalagi nampak ketakutan. Cahaya dalam ruang pengadilan membentuk karakter wajahnya yang tiba-tiba tegas, seolah memperkuat prinsip dasar dan sikapnya yang paling ditakuti; anti Nazi.
Hari itu, bersama saudara laki-lakinya, Hans Scholl, Sophie diadili oleh Pengadilan Rakyat Jerman. Tanggal 22 Februari 1943, ia mendengar tuduhan tak main-main. Bahwa dia dituding sudah melakukan pengkhianatan sehingga dijatuhi hukuman mati oleh Hakim Roland Freisler pada hari yang sama.
Sejarah mencatat, Sophie tetap tenang dan tegar selama persidangan. Bahkan ketika dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati, tatap matanya tetap teduh seperti yang sudah-sudah. Satu-satunya penyesalan yang terungkap saat itu, mengapa tidak semua orang di Jerman memiliki keberanian untuk berdiri melawan rezim Nazi. Pernyataan yang langsung mengundang riuh.
Keesokan harinya, setelah putusan dijatuhkan, Sophie dan Hans dibawa ke tempat eksekusi. Saat berjalan menuju tempat eksekusi, Sophie menunjukkan kekuatan dan ketabahan yang luar biasa. Ia bahkan berkata kepada seorang teman, “Bagaimana bisa kita menuntut perdamaian jika kita tidak berani bertindak? Kita harus berani mengambil risiko. Hidup kita singkat, dan itulah satu-satunya jalan menuju kebebasan yang sejati”.
Melawan Kekuasaan Otoriter
Kisah Sophie Scholl dan perlawanan non-kekerasan Gerakan Putih yang dipimpin oleh Hans Scholl dan Alexander Schmorell tetap menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan otoriter dan penindasan hak asasi manusia. Seiring waktu, keduanya dihormati sebagai pahlawan nasional di Jerman dan di seluruh dunia.
Sophie Scholl adalah seorang aktivis anti-Nazi yang berasal dari Jerman. Ia lahir pada tanggal 9 Mei 1921 di Forchtenberg, Jerman, dan meninggal pada tanggal 22 Februari 1943 di Munich, Jerman.
Sophie Scholl adalah anggota dari kelompok perlawanan non-kekerasan yang dikenal sebagai The White Rose, yang membantu menyebarkan pamflet-pamflet yang mengkritik rezim Nazi dan mengajak rakyat untuk melawan kekejaman Nazi.
Sophie Scholl dan saudara laki-lakinya, Hans Scholl, adalah pendiri The White Rose pada tahun 1942. Mereka menyebarluaskan pamflet-pamflet anti-Nazi dengan cara mencetaknya secara sembunyi-sembunyi dan menyebarkannya di seluruh kota Munich.
Pamflet itu berisi kritik terhadap kebijakan dan kekejaman rezim Nazi, serta mengajak rakyat untuk melakukan perlawanan non-kekerasan. Mereka menyebarluaskan pamflet-pamflet ini secara sembunyi-sembunyi, dan tindakan ini sangat berbahaya karena bisa berakibat pada penangkapan dan hukuman mati.
Selain itu Sophie Scholl juga menulis surat terbuka kepada mahasiswa-mahasiswa di Jerman untuk menentang kebijakan Nazi dan membela kebebasan berbicara dan berpikir. Surat ini kemudian dibaca di beberapa kampus di Jerman dan menjadi bagian dari gerakan perlawanan non-kekerasan.
Ia juga aktif mendiskusikan ide-ide anti-Nazi secara rahasia. Mengobarkan ide-ide tentang perlawanan non-kekerasan dan cara untuk memobilisasi rakyat dalam perjuangan melawan kekejaman Nazi. Mereka juga sering kali mengadakan diskusi dengan teman-teman mereka untuk mengajak mereka untuk bergabung dalam perjuangan melawan kekejaman Nazi.
Namun, pada tanggal 18 Februari 1943, mereka tertangkap oleh Gestapo, polisi rahasia Nazi, ketika mereka sedang membagikan pamflet di Universitas Munich.
Melawan Tanpa Kekerasan
Sophie Scholl dan The White Rose adalah contoh keberanian dan perlawanan terhadap rezim Nazi. Mereka menjadi simbol perlawanan non-kekerasan terhadap kekuasaan tirani. Kisah hidup Sophie Scholl pun menginspirasi banyak orang di seluruh dunia.
Namanya dihormati sebagai martir dan pahlawan nasional di Jerman. Tak heran jika banyak jalan dan gedung di Jerman, dinamai dengan namanya.
Kehidupan pribadi Sophie Scholl sayangnya tak cukup banyak diketahui. Yang jelas, ia tidak menikah, dan memilih aktif di organisasi-organisasi pemuda Protestan di Jerman pada saat itu, termasuk Liga Wanita Muda Kristen dan Gerakan Pemuda Anti-Perang. Ia juga aktif di dalam Grup Putih, sebuah kelompok perlawanan non-kekerasan yang dipimpin oleh saudaranya, Hans Scholl, dan Alexander Schmorell.
Sophie Scholl dikenal sebagai seorang yang cerdas dan berprestasi di sekolah dan universitas. Dia belajar di sekolah menengah di Ulm, Jerman dan kemudian melanjutkan studinya di Universitas Munich.
Di kampus ini, Sophie Scholl mulai membaca buku-buku tentang filsafat, sastra, dan agama, yang menginspirasinya untuk terlibat dalam kegiatan perlawanan non-kekerasan melawan Nazi. Ia juga terkejut dan mengecam perlakuan kejam Nazi terhadap orang-orang Yahudi dan menentang propaganda Nazi yang membangun sentimen anti-Semitisme dan rasisme.
Selain itu, Sophie Scholl dan Hans Scholl juga terinspirasi oleh gerakan perlawanan non-kekerasan di luar negeri, seperti gerakan Gandhi di India dan gerakan Bapa Injil Martin Luther King Jr. di Amerika Serikat.
Ia terinpirasi karena keduanya memperjuangkan perubahan sosial melalui cara yang non-kekerasan dan damai. Sophie Scholl memandang bahwa tindakan non-kekerasan adalah salah satu cara paling efektif untuk melawan tirani dan ketidakadilan yang ada di dunia.
Ia terpesona oleh strategi perjuangan yang dipakai oleh Gandhi dan Martin Luther King Jr., yang menggunakan aksi damai, pemboikotan, dan demonstrasi yang tanpa kekerasan untuk menentang ketidakadilan dan membela hak-hak sipil.
Sophie Scholl pernah mengutip pernyataan Martin Luther King Jr. yang mengatakan, “Hukum harus melindungi orang, bukan orang yang melindungi hukum.”
Ia juga menyebutkan bahwa aksi damai adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan pada dunia bahwa seseorang dapat menentang kejahatan tanpa melakukan kekerasan. Sophie pun membuat catatan kecil yang kelak jadi inspirasi dunia ; kerusakan sebenarnya dilakukan oleh jutaan orang yang ingin ‘bertahan hidup.’ Orang-orang jujur yang hanya ingin dibiarkan dalam damai. Mereka yang tidak ingin kehidupan kecil mereka diganggu oleh sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Mereka yang tidak memiliki sisi dan penyebab.
“Mereka yang tidak mau mengukur kekuatan mereka sendiri, karena ketakutan memusuhi kelemahan mereka sendiri. Mereka yang tidak suka membuat gelombang atau musuh. Mereka yang kebebasan, kehormatan, kebenaran, dan prinsip hanya sastra,” tulisnya. (hdl)