Surabaya (www.pilar.id) – Melewati Jalan Tunjungan, Surabaya, kita akan menemui beberapa lukisan yang dipajang berjajar. Tak jauh dari Gedung Grahadi, tepatnya di depan Apotik Simpang.
Lukisan-lukisan apik itu milik Imam Chudori, pelukis bermedium kertas dan pensil yang sudah melakukan aktivitas ini sejak 2000.
“Awal sebelum ini, saya pernah jadi desain grafis selama tiga tahun. Saya generasi ke tiga yang menempati tempat ini. Dulu di sini ramai, tapi sekarang tinggal saya. Sempat jaya di tahun 2006,” ucap pria tiga anak ini.
Ia juga bercerita, jika mulanya ia sering main ke Simpang melihat teman-temannya melukis. Dari situ, ia tergugah untuk mencoba. Melihat karya Imam, teman-temannya saat itu langsung memuji.
Ia pun diberi tempat. Berangkat dari tawaran itu Imam Chudori yang awalnya berniat mencari pekerjaan sampingan, menguji mental akhirnya bertahan hingga kini.
Setiap hari Imam menata hasil lukisan foto potraitnya pukul sebelas siang dan beranjak di jam lima petang. Keahlian Imam menggambar didapat secara otodidak, tepatnya sejak duduk bangku di sekolah dasar (SD).
“Semakin dewasa, saya merasa perlu memanfaatkan keahlian ini, maka sekarang saya jadi pelukis jalanan seperti ini, kadang saya melukis di sini (Simpang), kadang di rumah,” jelasnya.
Ukuran lukisan yang ia tawarkan cukup beragam. Mulai dari lukisan atau sketsa 10R, hingga paling besar ukuran 50×70 centimeter. Untuk ukuran terkecil, Imam mematok harga Rp 250 ribu. Itu sudah lengkap dengan frame. Sementara paling besar sekitar Rp 1 juta, tergantung jumlah dan tingkat kesulitan subyek dalam lukisan
“Hitungannya juga berdasar orang, satu orang 200 sampai 300 ribu rupiah tergantung juga ukuran lukisannya,” sebutnya.
Menjadi pelukis jalanan di salah satu gedung cagar budaya Surabaya selama 20 tahun, diam-diam memiliki kesan istimewa baginya. Termasuk saat ada pejabat datang bersama delapan stafnya, lalu membeli karyanya.
“Saya sempat takut, saya pikir ada grebekan. Dan jualan bakal diangkut, ternyata hanya ingin membeli. Sampai saat ini, saya tidak pernah diusir, meski saya sendiri,” kenangnya sambil tertawa.
Untuk pengerjaan, Imam menghabiskan waktu dua sampai tiga hari. Tak hanya melukis foto hitam putih, ia juga bisa melukis berwarna bahkan bikin karikatur.
Dalam sebulan, pria yang akrab disebut ‘Imam Pelukis Simpang’ ini, dapat meraup Rp 2 juta hingga Rp 3 juta. Dalam satu bulan, setidaknya ada 10 pesanan datang.
Memasuki usia kepala lima, Imam berharap jika ia bisa menjadi pelukis profesional dan karyanya dapat dikenal lebih luas. “Saya sedang mengumpulkan modal untuk bisa jadi pelukis profesional. Dulu sempat ikut pameran tahun 2006, tetapi belum waktunya saja. Saya yakin semua orang punya masanya,” teguh Imam. (jel)