Surabaya (pilar.id) – Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surabaya berhasil menangkap seorang warga negara Bangladesh, HR, yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Australian Federal Police (AFP), pada Rabu (08/05/2024). HR diduga kuat terlibat dalam jaringan penyelundupan manusia ke Australia.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Surabaya, Ramdhani, mengungkapkan bahwa penangkapan HR berawal dari laporan istrinya yang merupakan warga negara Indonesia (WNI), S, pada 9 Januari 2024. S melaporkan bahwa suaminya telah meninggalkan rumah tanpa diketahui keberadaannya dan mengungkapkan keterlibatan HR dalam penyelundupan WNA dari Bangladesh dan Pakistan ke Australia.
“Atas laporan tersebut, kami bekerja sama dengan S untuk memancing HR keluar dari persembunyiannya pada 12 Januari dan 1 Maret 2024. Kedutaan Besar Bangladesh kemudian mengonfirmasi rekam jejak HR terkait kasus penyelundupan manusia pada 2 April 2024,” jelas Ramdhani.
Setelah berkoordinasi dengan Subdit Penyidikan Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian serta AFP pada 24-25 April 2024, petugas berhasil menemukan titik terang keberadaan HR. Pada 26 April, seorang perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang membantu HR dalam proses layanan keimigrasian, dipanggil untuk memancing HR datang ke kantor imigrasi.
“Pada 8 Mei, HR tiba di Kantor Imigrasi Surabaya dan kami segera mengamankannya. Di persembunyiannya, kami juga menemukan warga negara Bangladesh lainnya,” tambah Ramdhani. Pemeriksaan lebih lanjut terhadap S, M (teman wanita HR), dan Sl (warga negara Bangladesh) pada 11 Mei menemukan berbagai petunjuk dan alat bukti.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Saffar Muhammad Godam, menjelaskan bahwa HR telah diserahkan ke Polda NTT pada 13 Mei 2024.
“HR diduga melanggar Pasal 120 ayat (1) dan (2) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan merupakan tersangka kasus penyelundupan manusia DPO Polda NTT,” ujarnya.
Dalam konferensi pers pada Jumat (17/5/2024), Wakapolda NTT Brigjen Awi Setiyono memaparkan modus operandi HR dan komplotannya. Mereka menggunakan aplikasi TikTok untuk memasang iklan pekerjaan di Australia, menjerat korban dengan meminta uang sebagai imbalan. Salah satu korban, WN India, dimintai 2.000 Dollar Australia, sementara tiga WN Bangladesh dan satu WN Myanmar dimintai 30.000 Ringgit Malaysia.
“Mereka dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara 5 hingga 15 tahun dan denda antara Rp 500 juta hingga Rp 1,5 miliar,” ujar Awi. (hdl)