Jakarta (pilar.id) – Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS setelah pengumuman dari pemerintah Brasil, yang memegang presidensi blok ekonomi tersebut pada tahun 2025.
Keanggotaan ini menandai langkah penting dalam perluasan pertama BRICS sejak presidensi Brasil dimulai.
Keputusan ini didukung secara bulat oleh negara anggota dalam KTT BRICS di Johannesburg, Agustus 2023. Indonesia secara resmi menyampaikan minatnya bergabung setelah pembentukan pemerintahan baru pada tahun 2024.
Pemerintah Brasil juga menyatakan bahwa Indonesia, dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan ekonomi terbesar di ASEAN, diharapkan mampu memberikan kontribusi positif pada kerja sama global.
BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, kini telah berkembang dengan anggota tambahan seperti Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab.
Selain itu, negara anggota telah menyepakati kerja sama baru dalam bidang perpajakan melalui pembentukan BRICS Tax Authorities Forum.
Pendapat Pakar: Tidak Menguntungkan untuk Indonesia
Radityo Dharmaputra, dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangan kritis terhadap langkah Indonesia bergabung dengan BRICS. Menurutnya, keanggotaan ini tidak memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan.
“Secara ekonomi, Indonesia sebenarnya sudah bisa bekerja sama dengan negara anggota BRICS tanpa harus bergabung. Tidak ada keuntungan jelas yang bisa diperoleh,” ungkap Radityo.
Ia juga menyoroti risiko yang muncul, terutama karena BRICS dianggap sebagai poros negara berkembang yang menantang dominasi ekonomi Barat. Posisi ini bisa mempersulit hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat.
“Bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat memberikan sentimen negatif dari negara Barat, yang mungkin menganggap kita bagian dari blok China-Rusia. Padahal, kita membutuhkan diversifikasi investor agar tidak bergantung pada satu pihak saja,” jelasnya.
Radityo juga menilai langkah ini lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan citra Presiden Prabowo di kancah internasional, namun membawa risiko hubungan yang buruk dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa.
“Indonesia harus berhati-hati dan tetap menjaga keseimbangan dalam hubungan globalnya. Jika tidak, konsekuensinya terlalu mahal untuk kita tanggung,” tambahnya.
Radityo menyarankan agar Indonesia memperkuat kerja sama dengan AS dan Uni Eropa sebagai langkah mitigasi. “Keanggotaan di BRICS seharusnya tidak mengorbankan hubungan strategis kita dengan negara-negara Barat,” pungkasnya. (hdl)