Jakarta (pilar.id) – Hidayat Nur Wahid, anggota DPR dan Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, mengingatkan Presiden Joko Widodo terkait sikapnya yang awalnya menolak campur tangan dalam pemilihan umum (pemilu), tetapi belakangan mengulangi pernyataan akan ikut campur dalam pemilu dengan alasan kepentingan negara.
HNW menyoroti bahwa konsistensi Presiden dalam sikapnya akan lebih bermanfaat bagi masa depan bangsa jika ia tetap pada pendiriannya untuk tidak campur tangan dan sepenuhnya mempercayakan mekanisme konstitusi, aturan hukum, partai politik, dan pimpinan partai politik.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS juga mengingatkan pentingnya mematuhi etika berbangsa dan bernegara serta sumpah jabatan Presiden sampai akhir masa jabatannya, demi meninggalkan warisan kenegarawanan.
HNW memahami bahwa Presiden seharusnya mengambil kebijakan-kebijakan yang menghasilkan kebaikan, kemajuan, dan persatuan bangsa, serta mengatasi permasalahan yang timbul.
Namun, hal tersebut harus tetap berada dalam batas-batas nilai-nilai, konvensi, dan kesepakatan nasional. Sikap campur tangan, misalnya, bisa dianggap tidak sejalan dengan Tap MPR RI yang masih berlaku, khususnya Tap MPR Nomor VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Salah satu poin dalam Tap MPR RI tersebut menyangkut Etika Politik dan Pemerintahan, yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, serta suasana politik yang demokratis, ditandai dengan keterbukaan, tanggung jawab, responsif terhadap aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, siap menerima pendapat yang lebih benar, dan menghormati hak asasi manusia serta keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.
HNW menekankan perlunya memperhatikan aspek menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, dan kesiapan untuk menerima pendapat yang lebih benar dalam etika tersebut.
“Kehadiran sikap campur tangan dalam pemilu sangat berisiko karena dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip etika berbangsa dan bernegara yang diungkapkan dalam Tap MPR tersebut,” ujarnya melalui siaran pers pada Kamis (8/6/2023) di Jakarta.
HNW juga mencatat bahwa sikap campur tangan bisa tidak sejalan dengan sumpah jabatan Presiden yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 dan diucapkan oleh Presiden Jokowi di hadapan sidang paripurna MPR.
Isi sumpah jabatan tersebut menyatakan bahwa Presiden Jokowi akan menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya, serta memegang teguh Undang-Undang Dasar serta melaksanakan semua undang-undang dan peraturannya dengan sepenuh hati, sambil berbakti kepada tanah air dan bangsa.
Sumpah tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa Presiden Jokowi akan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, dan selurus-lurusnya.
“Sebagai Presiden, melalui sumpah jabatannya, tidak hanya menjadi politisi atau kepala pemerintahan semata, tetapi juga menjadi negarawan yang melindungi semua warga negara dan semua kelompok, termasuk kelompok yang mungkin memiliki organisasi atau orientasi politik yang berbeda dengan Presiden,” jelasnya.
Sikap campur tangan dengan memihak dan mendukung kelompok politik dan calon presiden tertentu sambil mengabaikan yang lain, mudah dianggap tidak memenuhi prinsip keadilan, terutama yang seadil-adilnya, sebagaimana yang tercantum dalam sumpah jabatan tersebut
Selain masalah keadilan, HNW juga mengingatkan bahwa sumpah jabatan Presiden adalah untuk menjalankan undang-undang dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, jika merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, tidak ada kewenangan absolut atau konkuren yang menyebutkan keterkaitan dengan pemilihan umum.
“Karena pemilu telah diserahkan kepada lembaga independen, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945. Dengan tetap konsisten dalam melaksanakan seluruh isi sumpah jabatan, akan hadir kenegarawanan yang menenangkan dan dapat mengatasi permasalahan yang timbul, jika masih ada. Hal ini berkat contoh kepemimpinan dengan melaksanakan sumpah jabatan dan mematuhi aturan konstitusi dan hukum yang berlaku,” ungkapnya.
HNW juga sependapat dengan Wakil Presiden 2014-2019, Jusuf Kalla, yang menyatakan bahwa sikap campur tangan akan menunjukkan ketidaknetralan dan dapat mempengaruhi aparat pemerintah di bawahnya, baik dari eksekutif, yudikatif, maupun TNI dan Polri, dengan dalih kepentingan dan untuk menghindari permasalahan.
Jika hal tersebut terjadi, campur tangan tersebut akan mengakibatkan proses pemilu yang tidak sesuai dengan Konstitusi (UUD NRI 1945 Pasal 22E ayat 1) yang berlaku dalam era reformasi, yaitu pemilu yang bebas, rahasia, jujur, dan adil.
“Oleh karena itu, semua pihak perlu memberikan kontribusi positif untuk menyelenggarakan pemilu yang sesuai dengan Konstitusi dan Undang-Undang, tanpa perlu campur tangan di luar itu, karena hal tersebut sangat tidak sesuai dengan cita-cita reformasi dan menjadi warisan yang tidak konstruktif bagi kemajuan bangsa dan kualitas demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tambahnya.
Jadi, lanjut dia, seharusnya Presiden Jokowi tetap konsisten dengan sikap yang pernah diungkapkannya sebelumnya bahwa tidak akan campur tangan dalam pemilu, dan dengan itu, dia akan mewarisi kenegarawanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada akhir periode kedua, menjelang periode 2014.
“Meskipun ada beberapa masalah, Presiden SBY tetap netral dan tidak campur tangan, sehingga demokrasi dan pemilu berjalan dengan baik, dan pergantian kepemimpinan berlangsung tanpa hambatan yang signifikan,” katanya.
Dalam hal ini, kata HNW, Presiden Jokowi akan terpilih untuk periode pertamanya. Dengan sikap kenegarawanan yang melindungi semua pihak dengan adil, Presiden Jokowi dapat menyaksikan perkembangan demokrasi yang lebih matang dan substansial melalui kompetisi yang adil dan profesional yang melibatkan banyak pemimpin muda yang berpotensi, calon pemimpin bangsa.
“Jika hal tersebut terjadi, itu akan menjadi warisan sukses bagi Presiden Jokowi dalam mengelola peralihan kepemimpinan nasional dengan semangat demokrasi dan kenegarawanan, yang akan membawa ketenangan bagi negara dan partai politik. Dengan demikian, permasalahan yang timbul akan terkoreksi dengan sendirinya,” pungkasnya. (hdl)