Jakarta (pilar.id) – Ideologi dalam partai politik saat bersifat transaksional, di mana ideologi dalam partai politik seperti pita. Kedua ujung pita tersebut harus bertemu untuk menghasilkan sesuatu dalam lingkungan masyarakat.
Hal ini disampaikan Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc, Ph.D, Rektor Universitas Paramadina, saat membuka forum seminar dan peluncuran buku dengan tema ‘Strategi Komunikasi Politik Jelang Pemilu 2024’ di Aula Nurcholish Madjid, Rabu (21/6/2023).
Di depan forum yang dihadiri mahasiswa, praktisi, dan akademisi ilmu komunikasi ini Didik mengingatkan, partai politik saat ini harus bekerja sama untuk menciptakan titik temu yang bermanfaat.
“Komunikasi dipelajari sebagai institusi pertukaran. Komunikasi politik merupakan pertukaran antara pembuat kebijakan dengan masyarakatnya. Dalam perdagangan internasional, pertukaran antara importir dan eksportir. Dan dalam pemilu, pertukaran antara para calon dengan masyarakatnya. Karena itu, ilmu sosial dianggap sebagai pertukaran,” jelasnya.
Forum yang diselenggarakan Paramadina Communication Institute (PCI), yang merupakan Program Studi Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina, juga membahas isi buku berjudul ‘Komunikasi Politik, Aktivisme, dan Sosialisme’ yang ditulis oleh Erik Ardiyanto, M.Ikom, seorang Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Paramadina.
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Tri Wahyuti, M.Si, menyatakan bahwa tujuan dari forum ini adalah untuk menghargai hasil penelitian dan pemikiran para dosen, serta membaginya bukan hanya kepada mahasiswa universitas, tetapi juga kepada masyarakat luas.
“Acara ini bertujuan memberikan ruang publikasi kepada para dosen untuk mengaktualisasikan hasil penelitian dan pemikirannya. Ruang ini tidak hanya terbatas pada lingkungan universitas, tetapi juga berdampak pada masyarakat secara luas,” ungkap Tri Wahyuti.
Beberapa narasumber yang hadir dalam forum ini adalah Erik Ardiyanto, M.Ikom selaku penulis buku dan Dosen Ilmu Komunikasi, Abdul Malik Gismar, Ph.D., Dosen Magister Ilmu Komunikasi, serta Tia Rahmania, M.Psi, seorang Psikolog dan Dosen Program Studi Psikologi yang juga merupakan aktivis politik perempuan.
Ketiga narasumber tersebut membahas situasi yang akan dihadapi dan persiapan yang perlu dilakukan menjelang pemilu pada tahun 2024 mendatang.
Erik Ardiyanto, narasumber pertama, menyatakan bahwa melalui buku tersebut, kita dapat belajar dari tokoh-tokoh politik seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez, dan Jeremy Corbyn.
Menurut Erik, ketiganya merupakan politisi sukses yang mampu menghidupkan kembali ide-ide sosialisme modern di mata publik.
“Hingga saat ini, ideologi politik sosialisme sebagai alternatif terhadap politik kapitalisme terus menghilang dalam benak publik akibat distorsi media dan aktor politik yang tidak menginginkan ide tersebut terealisasi. Namun, hal ini tidak berlaku bagi ketiga tokoh tersebut,” ungkapnya.
Erik juga berharap bukunya dapat menjadi pembelajaran bagi aktivis mahasiswa untuk membangun keyakinan bahwa dengan ide dan gagasan, seorang aktivis dapat sukses dalam kontestasi politik seperti tokoh-tokoh tersebut.
Abdul Malik Gismar, Ph.D., narasumber kedua, memberikan pandangan mengenai cara membaca media dalam rangka menuju pemilu 2024. Ia berpendapat bahwa pengguna media sosial tidak boleh terjebak dalam ‘Echo Chamber’ yang hanya menyajikan potongan narasi untuk mempolitisasi agenda-agenda di masyarakat.
“Kita tidak boleh terperangkap oleh informasi di media sosial yang disajikan berdasarkan algoritma. Hal tersebut berpotensi terjebak dalam ‘Echo Chamber’, di mana kita enggan melihat informasi yang nyata dan tertutup dalam keyakinan kita sendiri,” ungkap Abdul Malik.
Sementara itu, narasumber ketiga, Tia Rahmania, M.Psi, Psikolog, memberikan pandangannya tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik.
Dalam forum tersebut, ia mengajukan pertanyaan kepada peserta seminar perempuan mengenai siapa yang ingin terlibat dalam dunia politik. Mayoritas peserta menjawab tidak tertarik atau belum berminat menjadi seorang politisi.
Menanggapi realitas tersebut, Tia menjelaskan pengalamannya dan pentingnya keterlibatan perempuan dalam politik. “Sebagai perempuan, kita harus berani terlibat langsung dalam dunia politik. Perempuan memiliki empati yang tinggi dalam lingkungan masyarakat, sehingga kepekaan yang dimiliki dapat membawa perubahan dan memperbaiki lingkungan sekitar,” ujar Tia.
“Komunikasi politik pada dasarnya adalah tentang bagaimana individu memperoleh kekuasaan. Secara harfiah, politik berarti kekuasaan, tetapi dalam arti yang lebih luas, politik berarti bagaimana kekuasaan tersebut dapat bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya,” tambahnya.
Pada akhir acara, para narasumber berharap bahwa forum seperti ini dapat diadakan lebih sering, sehingga menjadi wadah untuk memperkaya pengetahuan dalam bidang politik. (hdl)