Surabaya (pilar.id) – Pandemi merubah segalanya. Termasuk Kampung Ilmu, pasar buku permanen yang diklaim terbesar di Surabaya ini, harus ikut menyesuaian cara baru untuk bisa bertahan.
Jika sejak awal buka pada 2009, para pelapak buku mengandalkan ramainya pengunjung yang datang langsung ke Jalan Semarang, maka kini hampir sebagian besar proses jual beli dilaksanakan secara online.
Jadi jangan langsung heran kalau suasana pasar buku ini makin hari makin sepi. Lapak lebih sebagai ruang penyimpanan buku. Karena para penjual dan pembeli banyak bertemunya di dunia digital untuk menyelesaikan transaksi.
Feri pemilik Kios Buku Hikmal menceritakan, awal pandemi kehidupan di kampung ilmu ini sempat terhenti. Transaksi mati. Karena keadaanlah, mereka terpaksa memindah dagangannya secara online.
Awalnya gagap teknologi, namun kini aplikasi-aplikasi jual beli online sudah mereka kuasai. Bahkan satu kios bisa menjalankan sampai belasan akun toko online. Penjaga lapak kini merangkap admin etalase maya.
Alih-alih menunggu pembeli, kesibukan lebih banyak diisi dengan mengambil foto, lalu mengunggahnya di toko online. Menjawab pertanyaan calon pembeli juga menjadi sebelum transaksi.
Di Kampung Ilmu kini jamak dijumpai pelapak yang memiliki alat penimbang berat barang. Seperti siang itu yang dilakukan Dila, admin toko online itu memastikan berat buku bersampul dan berhalaman tebal, untuk menentukan besarnya ongkos kirim yang harus ditanggung pembeli.
Sementara rekannya yang lain sibuk mengemas buku dan menomorinya dengan kode pesanan atau resi pengiriman.
“Setiap sore kurir mengambil pesanan dari pembeli online,” kata Dila. Dia menceritakan, dari tiga lapak online yang dia pegang sebagai admin, dalam sehari bisa melayani sampai seratus pesanan buku.
Meskipun lebih banyak transaksi online, Kampung Ilmu tidak menutup bagi warga yang mau membeli buku-buku secara langsung.
Yang merasa membolak-balik buku yang dicari di antara jejeran dan tumpukan rapi masih menjadi sensasi, Kampung Ilmu masih asik untuk dikunjungi. (ton/hdl)