Padang (pilar.id) – Kebijakan Restorative Justice (RJ) untuk penyelesaian kasus pidana ringan sudah mulai diterapkan oleh lembaga penegak hukum di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu yang sudah aktif menggunakan RJ adalah Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Bahkan, sepanjang tahun 2022, Kejati Sumbar sudah menghentikan proses hukum 16 kasus pidana ringan menggunakan RJ. Diantara kasus pidana ringan yang menggunakan RJ sebagai penyelesaian adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pencurian ringan, sampai penganiayaan.
“Sejak Januari hingga saat ini ada 23 perkara yang diusulkan untuk dihentikan dengan keadilan restoratif di tingkat penuntutan, sebanyak 16 perkara disetujui,” kata Asisten Intelijen Kejati Sumbar Mustaqpirin, di Padang, Jumat (25/11/2022).
Kasus pidana ringan yang diselesaikan menggunakan RJ paling banyak terjadi di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Pasaman Barat dengan delapan perkara. Delapan lainnya terbagi ke beberapa daerah seperti Pesisir Selatan dengan tiga perkara, Tanah Datar dua perkara, dan beberapa daerah lainnya masing-masing satu perkara.
“Pengusulan dilakukan oleh masing-masing Kejaksaan Negeri (Kejari) ke Kejaksaan Tinggi, kemudian diteruskan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI untuk diputuskan,” jelasnya.
Ia menjelaskan keadilan restoratif merupakan alur penyelesaian perkara di luar persidangan yang diberikan untuk tindak pidana ringan yang memenuhi syarat serta ketentuan.
“Dengan semangat keadilan restoratif ini kejaksaan ingin menerapkan asas ultimum remedium dimana pemidanaan adalah jalan terakhir, tidak semua perkara harus berakhir di penjara,” jelasnya.
Secara tidak langsung, katanya, keadilan restoratif juga akan meringankan beban penjara yang ada di provinsi setempat.
Ia menyebutkan dalam menghentikan penuntutan ada beberapa hal yang diperhatikan pihaknya yaitu kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respon masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum.
Ia menegaskan penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif akan dilaksanakan pihaknya secara transparan tanpa pungutan.
“Penghentian penuntutan yang diberikan bebas dari transaksional, dan persetujuannya dilakukan langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung RI,” katanya.
Jika menilik aturan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yakni Peraturan Kejaksaan Nomor 15 tahun 2020, keadilan restoratif diberikan kepada pelaku yang terjerat kasus pidana ringan dengan ancaman di bawah lima tahun.
Beberapa persyaratan lain adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis), jumlah kerugian di bawah Rp2,5 juta, serta ada perdamaian antara tersangka dengan korban yang direspons positif oleh keluarga.
Ia menjelaskan yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara lewat keadilan restoratif yakni adanya pemulihan keadaan pada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana, sehingga keharmonisan di lingkungan masyarakat juga bisa pulih kembali. (fat)