Jakarta (pilar.id) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung secara penuh implementasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai salah satu objek jaminan utang. Namun, dalam implementasinya tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan.
“Kami telah menyiapkan kerangka regulasi HKI sebagai agunan yang saat ini sedang dikaji dan disusun oleh tim pengaturan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, di Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekraf). Dalam PP tersebut, pemerintah bertanggung jawab dalam menciptakan dan mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif.
Sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing global guna tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam perkembangannya, ekosistem dan komersialisasi HKI memiliki potensi yang cukup besar untuk digali sehingga dapat berkontribusi untuk perekonomian nasional. Potensi tersebut antara lain, HKI dapat menjadi insentif bagi usaha-usaha inovatif untuk menjaga hegemoni bisnisnya.
Selain itu, aset HKI berupa softskill, paten, atau lisensi dapat mendorong akselerasi bisnis melalui efisiensi proses bisnis yang diciptakan. Perusahaan intensif HKI pun cenderung lebih tahan terhadap krisis karena dianggap lebih cepat dan mudah beradaptasi seperti perusahaan berbasis teknologi yang layanannya cenderung fleksibel mengikuti perkembangan tren.
“Misalnya industri game, virtual reality, dan software,” sambung Mahendra.
Di sisi lain, HKI yang terdaftar dapat dioptimalkan untuk memperoleh pendapatan pasif secara regular. Misalnya, pendapatan yang berasal dari royalti dan paten, meskipun marketnya belum begitu besar.
Melihat potensi tersebut, PP Ekraf memberikan dukungan dengan adanya pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, yaitu skema pembiayaan yang dapat menjadikan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang bagi lembaga keuangan bank atau nonbank. Hal ini ditujukan agar sektor jasa keuangan dapat memberikan dukungan pembiayaan kepada pelaku ekonomi kreatif.
“Kemudian, perlindungan terhadap HKI juga dinilai krusial untuk mendorong inovasi pengembangan jasa atau produk berbasis industri kreatif,” kata Mahendra.
Namun demikian, lanjut Mahendra, terdapat challenge dari sisi fluktuasi nilai HKI yang memang tinggi tergantung sentimen pasar, kinerja pemasaran, tren selera masyarakat, time value-nya dan usia ekonomi produk HKI tersebut. Adapun tantangan tersebut antara lain, perkembangan HKI menyebabkan persaingan antar industri di dalamnya semakin kompetitif.
“Sehingga untuk UMKM berbasis HKI dapat mengalami kesulitan memasuki pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal,” kata Mahendra.
Kemudian dari sisi stabilitas sistem keuangan, HKI masih sering dinilai sebagai sektor dengan produktivitas rendah serta fluktuasi pada return maupun value yang tinggi sehingga dikategorikan menjadi penyumbang risiko stabilitas. Sehingga pembiayaan berbasis HKI menuntut bank menyiapan
pencadangan yang lebih besar.
Selain itu, porsi investasi aset tidak berwujud dan porsinya relatif kecil yang dibiayai oleh pinjaman bank berpotensi melemahkan saluran transmisi kebijakan moneter, karena dinilai kurang responsif terhadap perubahan suku bunga. “Berikutnya, adanya dispersi biaya di mana keberhasilan skala ekonomi usaha berbasis HKI tergantung leader dan tren di sektor tersebut, serta tergantung dari tingkat inovasi baru yang ada di industri kreatif,” sambung Mahendra.
Bagi perbankan maupun perusahaan pembiayaan juga menghadapi hambatan tersendiri. Hambatan-hambatan tersebut antara lain, bentuk perikatan yang dipersyaratkan belum diatur secara
jelas. Saat ini jenis HKI yang memiliki dasar hukum perikatan yang jelas hanya hak cipta dan paten sebagaimana UU Hak Cipta dan UU Paten, yaitu berupa pengikatan secara fidusia.
“Sementara jenis HKI yang lain belum diatur dasar hukum perikatannya,” kata dia.
Karena itu, dibutuhkan pedoman penilaian atas nilai ekonomis oleh berbagai pihak yang ahli dalam bidang HKI. Mengingat, saat ini belum ditetapkan rumus baku penilaian HKI yang dapat dijadikan dasar jaminan oleh bank.
“Lembaga penilai atas nilai ekonomis yang melekat pada HKI juga perlu ditetapkan, sebab saat ini belum terdapat lembaga penilai yang khusus menilai HKI sebagai acuan bank,” jelas Mahendra.
Mahendra melanjutkan, perlu ditetapkan juga tata cara eksekusi HKI dan lembaga yang membantu dalam melaksanakan eksekusi HKI sebagai agunan. Berikutnya, terkait secondary market yang belum tersedia sehingga pada saat eksekusi tidak dapat dilakukan penjualan yang efektif.
“Sehingga bank kesulitan untuk mendapatkan pengembalian atas kredit atau pembiayaan yang telah diberikan,” kata dia.
Namun demikian, lanjut Mahendra, dilihat dari peraturan OJK yang berlaku saat ini, secara prinsip tidak terdapat larangan untuk menjadikan HKI sebagai agunan dari kredit maupun pembiayaan. Namun terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain terkait valuasi, pengikatan, dan eksekusi.
“Bank harus dapat memastikan bahwa HKI telah diikat secara sempurna, seperti hak cipta dan paten yang saat ini dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia,” katanya.
OJK menilai dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk pengembangan potensi HKI itu sendiri. Untuk itu, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka mengakselerasi implementasi HKI sebagai objek jaminan utang.
Pertama dari sisi kelembagaan, pemerintah dapat membentuk instansi lembaga untuk registrasi, pencatatan transaksi, dan penjamin HKI. Selain itu, perlu diciptakan ekosistem dan market yang likuid dari berbagai produk dan jenis HKI.
Dan yang tidak kalah penting, dukungan dalam hal insentif program penjaminan maupun subsidi bunga dari pemerintah melalui piloting HKI sebagai agunan. “Dengan demikian menciptakan confidence dari sisi perbankan maupun perusahaan pembiayaan,” kata dia. (ach/fat)