Jakarta (pilar.id) – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengungkapkan keprihatinan terkait tingginya jumlah pasien Tuberkulosis (TBC) yang meninggal sebelum mendapatkan pengobatan akibat kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait penyakit ini.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, kurangnya pemahaman tentang TBC menyebabkan banyak individu yang sudah mengalami gejala tetapi belum mencari layanan pemeriksaan. Hal ini membuat kondisi TBC semakin parah, bahkan berujung pada kematian sebelum memulai pengobatan.
“Banyak yang sudah bergejala TBC, namun belum mengakses layanan untuk pemeriksaan sehingga TBC semakin parah atau resistan, bahkan sampai meninggal sebelum memulai pengobatan,” ungkap Siti Nadia Tarmizi.
Dia juga menekankan bahwa beberapa faktor, seperti alasan sosial, ekonomi, stigma, serta kurangnya dukungan keluarga atau komunitas, menjadi hambatan bagi pasien TBC untuk mengakses pengobatan. Selain itu, belum semua fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, terlibat dalam program penanggulangan TBC.
Dalam upaya menekan angka kasus TBC di Indonesia, Kemenkes RI fokus memberikan edukasi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada masyarakat. Edukasi ini diberikan di berbagai lapisan masyarakat, termasuk sekolah, lingkungan permukiman, dan tempat kerja.
“Kami terus mendorong PHBS seperti tidak merokok, melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi makanan sehat, cuci tangan dengan sabun, dan pengelolaan stres untuk meningkatkan kekebalan tubuh,” tambahnya.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 7 November 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi kedua di dunia setelah India. Data tersebut menunjukkan pentingnya upaya pencegahan, edukasi, dan penanganan TBC secara holistik untuk mengatasi masalah ini. Hingga 3 November 2023, total kasus TBC di Indonesia mencapai 658.543 kasus, menurut data Kemenkes RI. (riq/hdl)