Jakarta (pilar.id) – Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKS) dikabarkan membuat koalisi bersama. Koalisi Gerindra dan PKB bakal mengusung Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar jadi calon wakil presidennya (cawapres).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, koalisi Gerindra dan PKB sangat mungkin serius dalam tatanan politik. Tetapi kalau Prabowo dengan Muhaimin dipasangkan dalam skema capres-cawapres, menurut dia, belum bisa dianggap serius.
Dedi berpandangan, Muhaimin sebagai cawapres belum bisa meningkatkan elektabilitas Prabowo, sebagaimana Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 yang mampu mengangkat elektabilitas Jokowi dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Menurutnya, Muhaimin tidak seperti itu, bahkan elektabilitasnya tetap rendah dan terpaut jauh dengan PKB, partai yang dipimpinnya.
“Intinya koalisi parpol Gerindra dan PKB cukup baik, tetapi jika koalisi ini mengusung Prabowo dan Muhaimin, itu bukan pilihan bijak,” kata Dedi kepada Pilar.id, Senin (20/6/2022).
Adapun jika nantinya PKS akan masuk ke dalam koalisi Gerindra dan PKB, maka daya tawar Muhaimin bisa saja turun atau bahkan luntur sama sekali. Dengan kondisi itu. Maka Prabowo potensial untuk merekrut cawapres bukan dari PKB dan PKS.
Dari sisi PKS, lanjutnya, tidak ada masalah karena selama ini PKS sudah memiliki catatan pengalaman. Cukup sebagai pengusung tanpa harus mengadirkan kader sebagai cawapres. Misalkan saja nantinya PKS membawa Anies Baswedan dan muncul Prabowo-Anies, pilihan ini justru lebih baik.
Tapi persoalannya, kata Dedi, kalau terjadi koalisi antara Gerindra PKB dan PKS, maka PDIP berpeluang menggeser koalisinya atau bergabung bersama Golkar, PAN, dan PPP dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Kalau sampai ini terjadi, maka KIB akan menjadi poros yang sangat kuat.
Dedi berandai misalnya Puan Maharani sebagai cawapres dipasangkan dengan tokoh capres yang juga potensinya lebih kuat daripada Prabowo, maka PDIP dan KIB bisa keluar sebagai pemenang di Pilpres 2024.
“Kecuali kalau PDIP tetap solid dengan Gerindra dan memunculkan Prabowo-Puan dengan dukungan PKB dan PKS, ini mungkin akan membawa warna baru,” kata dia.
Dengan begitu, parpol yang tersisa atau tidak memiliki koalisi hanya Demokrat dan Nasdem. Namun apabila Nasdem juga berhasil dibawa ke gerbong Gerindra, maka besar kemungkinan PDIP, PKB PKB, PKS, dan Nasdem, berpeluang besar untuk menang.
“Pilihannya berarti Demokrat, mau tidak mau harus bergeser ke KIB. Golkar, PAN, PPP, Demokrat. Maka bisa saja memunculkan Airlangga dan AHY sebagai capres-cawapres.
Sementara itu, jika berbicara konflik Muhaimin dengan PBNU, Dedi menilai, itu tidak signifikan pengaruhnya kepada tingkat pemilih. Artinya, pemilih di tingkatan bawah tidak punya kesadaran kolektif untuk tunduk kepada PBNU.
Alhasil, konflik Muhaimin dan PBNU tidak akan berdampak pada elektabilitas Muhaimin. Hanya saja secara natural, pemilih Muhaimin memang sangat minim, sehingga tidak bisa membawa dampak elektoral dengan berharap kepada pemilih Nahdliyin.
“Sementara hari ini, PBNU menginstruksikan bahwa tidak perlu ada relasi kuat dengan PKB. Di sisi lain, PBNU dekat dengan PDIP. Maka mau tidak mau bisa saja berbagi pengaruh. Artinya sebagian pemilih NU yang sadar politik bergeser ke PDIP, sebagian lain yang loyak pada PKB tetap memilih Muhaimin,” tutupnya. (her/din)